Tantangan PKS

Oleh :(Sapto Waluyo, Center for Indonesian Reform)

Menjelang pemilihan kepala daerah serentak, seluruh partai politik berbenah: memanaskan mesin politik dan mempopulerkan kandidatnya. Karena pilkada serentak tahun 2018 berdekatan waktunya dengan pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun 2019, maka pemanasan mesin dan popularisasi kandidat terkait dengan pemenangan kedua momen itu. Bahkan, simpulan berbagai survei menunjukkan efek ikutan (co-attail effect) dari figur kandidat Presiden RI terhadap sikap pemilih dalam pilkada atau pemilihan anggota legislatif.

Golongan Karya merupakan partai besar yang pertama harus berbenah pasca tragedi penetapan Ketua Umum Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi KTP Elektronik yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Jauh sebelum Airlangga Hartarto terpilih sebagai pengganti ketua umum, Golkar sudah menyatakan dukungan kepada Joko Widodo sebagai calon presiden periode kedua (2019-2024). Airlangga mempertegas dukungan itu, apalagi setelah Sekjen Idrus Marham dilantik sebagai Menteri Sosial RI. Tapi, Golkar terkenal sebagai partai lihaiberadaptasi, jika cuaca politik berubah drastik.

PDI Perjuangan tak mau kalah, mengadakan rakernas di Bali dan mengumumkan Jokowi sebagai capres 2019. Ketua Umum Megawati sendiri yang mengumumkannya sambil mengacungkan tiga jari metal. Sikap Mega itu sebagai kunci koalisi petahana, karena partai-partai anggota kabinet sebelumnya telah mengusung Jokowi, seperti Nasdem, PKB, PPP dan Hanura. Lalu, mereka menawarkan tokoh-tokoh partainya sebagai pendamping Jokowi, siapa tahu dilirik jadicawapres.

Partai Demokrat yang tampil flamboyan juga mengadakan rapimnas dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang khususPresiden Jokowi untuk meresmikan acara. Sempat beredar isu bahwa PD akan mencalonkan Jokowi sebagai presiden dengan AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) sebagai cawapres. Isu itu diprotes oleh pengurus DPP PD yang mantan anggota Relawan Jokowi, tapi SBY tampaknya akan menggalang poros ketiga bersama PAN dan PKB.

Yang belum terdengar sikapnya adalah Partai Gerindra, apakah akan mencalonkan kembali Prabowo Subianto dalam kompetisi pilpres? Prabowo sudah dua kali maju pilpres, saat mendampingi Megawati sebagai cawapres (2009) dan saat menjadi capres (2014) didampingi Hatta Rajasa. Pilpres 2019 merupkan kesempatan terakhir Prabowo untuk tampil, atau ia akan bermain sebagai king maker sebagaimana dulu pernah mengorbitkan Jokowi-Ahok (dalam pilkada DKI Jakarta 2012), Ridwan Kamil (pilwako Bandung 2015), dan Anies R. Baswedan (pilkada DKI Jakarta 2017).

Yang sudah bersikap tegas tapi belum begitu diperhitungkan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai bernomor delapan (8) itu menyatakan konsisten beroposisi, agar demokrasi tetap sehat. Presiden PKS, M. Sohibul Iman berseloroh, jika semua partai mendukung Jokowi sehingga munculcapres tunggal, maka apa kata dunia tentang demokrasi Indonesia? Seolah-olah Indonesia mengalami kelangkaan stock kepemimpinan nasional. Karena itu, PKS konsisten membangun kekuatan alternatif bersama Gerindra dan PAN, serta akan merangkul kekuatan sosial-politik lain. PKS juga menyambut kemungkinan munculnya kekuatan ketiga atau poros keummatan.

Tokoh PKS

Berbeda dengan partai lain yang malu-malu mendekat ke Jokowi, PKS menyodorkan bakal capres sendiri, bahkan jumlahnya sampai sembilan kandidat (bisa disebut Wali Sanga), yakni: Ahmad Heryawan, Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Irwan Prayitno, M. Sohibul Iman, Salim Segaf al-Jufri, Tifatul Sembiring, Almuzammil Yusuf, dan Mardani Ali Sera. Ada yang berkomentar, PKS mengada-ada dengan mengajukan sembilan kandidat. Padahal justru itu, jawaban paling jitu bagi orang-orang yang beranggapan: tak ada alternatif, kecuali Jokowi. Indonesia tidak pernah kesulitan mencari tokoh pemimpin nasional, sebab faktanya hanya segelintir cukong yang mengeksploitasi lembaga survei dan buzzer media sosial untuk mempengaruhi opini publik.

Lebih menyentak lagi, salah seorang bacapres PKS paling muda, Mardani Ali Sera bersuara lantang: #GantiPresiden2019! Mantan Ketua Tim Pemenangan Anies-Sandi itu tidak hanya pandai mengkritik, tapi menawarkan alternatif program: pelunasan dan renegosiasi utang luar negeri (Rp 400 triliun/tahun), revitalisasi industri dengan mencabut 42 ribu aturan yang menghambat pembukaan lapangan kerja, mengembangkan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan (Rp 150 triliun/tahun), membasmi importir jahat yang memonopoli pangan, meningkatkan produktivitaspertanian dengan mengirim 70 ribu duta desa belajar agriteknologi ke negara maju, dll. Gebrakan Mardani, politisi asli Betawi itu membuka mata akan bahaya populisme di Indonesia yang menutup pintu perubahan. Tampilnya Mardani juga menunjukkan PKS tidak kekurangan figur vokalis setelah Fahri Hamzah dipecat.

Ketiadaan tokoh popular sering disebut sebagai kelemahan utama PKS. Padahal, jika kita ingat tahun 2003 saat PKS pertama kali muncul (melanjutkan perjuangan Partai Keadilan), telah menghadirkan tokoh Hidayat Nur Wahid. Saat itu, Hidayat sebagai alumni Pondok Modern Gontor berperan menjadi perekat kekuatan reformis dari kalangan relijius atau nasionalis. Hidayat memimpin demonstrasi besar anti Perang Irak yang dikobarkan Amerika Serikat serta mendapat liputan luas media nasional dan internasional. Hidayat sempat dituduh mendukung kegiatan teroris, tapi Dubes AS akhirnya minta maaf dan pemerintah AS mencabut black list PBB terhadap lembaga (Yayasan Haramain) yang dipimpinnya.

Tokoh PKS terbukti berpotensi besar di panggung nasional dan global, namun ideologi PKS yang bersifat egalitarian tidak membiarkan terjadinya gejala figuritas. Dalam pemilu 2004, HNW (demikian panggilan Hidayat), mendapat perolehan suara tertinggi secara nasional sekaligus mengangkat suara PK (1,4 juta atau 1,36 persen suara nasional) menjadi 8,3 juta suara (7,34 persen). HNW akhirnya terpilih menjadi Ketua MPR RI (2004-2009), mengalahkah calon dari PDIP. Lima tahun berikut, dalam pelbagai survei menjelang pilpres 2009, antara lain LP3ES dan CSIS, nama HNW dipercaya responden paling layak mendampingi SBY selaku cawapres. Namun, SBY akhirnya memilih Boediono, karena menurut pengamat “takut memelihara anak macan”. PKS dipandang kawan potensial, sekaligus ancaman bagi partai-partai besar.

Jika saat ini, PKS menyodorkan 9 bacapres, itu sikap realistik. PKS tahu diri, tak bisa sendirian berpartisipasi dalam pilpres, karena itu harus mengakomodasi aspirasi mitra koalisi dan menawarkan pilihan terbuka. Jika menguncinya dengan satu kandidat, maka PKS akan kesulitan berinteraksi. Sembilan bacapres PKS memiliki prestasi dan potensi tersendiri, disamping merupakan representasi kemajemukan Indonesia: Jawa/Sunda (HNW, Aher, dan MSI), Sumatra (Irwan, Tifatul dan Muzammil), Betawi (Mardani), dan Sulawesi (Anis dan Salim Segaf). Sebenarnya figur MSI dan Salim Segaf lebih berperan sebagai penjaga gawang partai, agar koalisi politik PKS benar-benar sesuai dengan koridor kepentingan nasional. HNW berperan sebagai perekat umat dan komponen bangsa, sehingga pimpinan nasional memiliki basis sosial yang kongkrit, bukan hanya bermodal pencitraan dan rekayasa media.

Secara obyektif, kandidat yang berpengalaman di eksekutif adalah Ahmad Heryawan dan Irwan Prayitno; prestasi keduanya telah diakui banyak pihak dan layak diangkat ke panggung nasional seperti sosok Tuan Guru Bajang (Dr. Zainul Majdi), Gubernur NTB. Mitra koalisi PKS dapat memanfaatkan keragaman potensi PKS itu untuk mendongkrak elektabilitas, tidak perlu terjebak pada sosok yang paling banyak menebar spanduk/baliho atau berorasi ke berbagai kota. Rekam jejak bacapres akan lebih dipercaya publik.

Soliditas PKS

PKS telah menjawab tantangan utama regenerasi kepemimpinan nasional di tengah proses demokrasi berbiaya tinggi dan rekayasa opini terlembaga. Di situlah elan vital PKS sebagai kekuatan pendobrak sejak masa reformasi kembali terlihat, dan peluang PKS untuk melepaskan diri dari jebakan partai menengah (middle party trap) semakin terbuka. Ada tantangan lain bersifat internal yang jika mampu ditangani akan memperkuat langkah PKS dalam mencapai tujuannya. Yaitu, masalah klasik dalam organisasi untuk menjaga konsolidasi.

Sebelum menelaah lebih jauh, konsolidasi yang dijalani PKS agak unik, karena mengandung empat aspek. Pertama, konsolidasi ideologi yang tertuang dalam Falsafah Dasar Perjuangan (2007), sebenarnya merupakan elaborasi dari Manifesto Politik PK yang dirumuskan tahun 1998, yakni kristalisasi pemikiran yang mendasari berdirinya partai berdasarkan nilai-nilai spiritual dan pengalaman sejarah panjang. Piagam Deklarasi PK (1998) dan PKS (2003) serta seluruh materi kaderisasi PKS dapat dicerna dengan jernih, apabila memakai kerangka falsafah dasar perjuangan ini.

Kedua, konsolidasi politik termaktub dalam Platform Kebijakan Pembangunan PKS yang memuat langkah-langkah strategis PKS untuk memperbaiki kondisi bangsa. Platform PKS tahun 2003 berjudul “Agenda Penyelamatan Bangsa”, tahun 2007 dipertegas menjadi “Memperjuangkan Masyarakat Madani”, dan tahun 2017 direvisi menjadi “Indonesia Madani”. Di sinilah seluruh upaya politik PKS didedahkan dan dikomunikasikan kepada publik Indonesia dan dunia, tak ada yang disembunyikan (hidden agenda). Seluruh anggota DPR RI dan DPRD dari Fraksi PKS di seluruh Tanah Air harus memahami dan menjalankan platform kebijakan, karena mereka sebagai etalase dan juru bicara PKS di arena publik.

Ketiga, konsolidasi organisasi termuat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PKS, yang mengatur tertib organisasi sejak di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang dan ranting. Ada yang unik dalam tradisi (konvensi) PKS, yakni arahan pimpinan (khithob qiyadi) berfungsi penting karena menjadi pengarah dalam praktek kehidupan berorganisasi. Lembaga pengambil keputusan tertinggi dalam PKS adalah Majelis Syura (yang anggotanya dipilih secara berkala dan demokratis lewat pemilihan raya), dan posisi Ketua Majelis Syura sebagai mandataris MS sangat sentral. Siapapun kader PKS yang pernah berhadapan dengan Ketua MS PKS berarti dia berhadapan dengan pemegang mandat tertinggi, seperti kader PDIP berhadapan dengan Megawati atau kader PD berhadapan dengan SBY.

Tapi, perlu diberi catatan: sosok Salim Segaf al-Jufri selaku Ketua MS PKS penerus perjuangan KH Hilmi Aminuddin memiliki karakter khas, dapat ditemui siapa saja, terutama saat shalat berjamaah di masjid atau markas dakwah PKS. Selain itu, Habib Salim biasa berkunjung incognito ke berbagai daerah untuk mengetahui kondisi nyata kader dan simpatisan PKS, menjenguk mereka yang sakit atau terkena musibah dan membutuhkan pertolongan. Habib Salim juga mengetahui persis, siapa yang tak menyukai kepemimpinannya dan menolak kebijakan yang ditetapkan PKS, tanpa perlu mengerahkan aparat intelijen. Bahkan, Habib Salim biasa mendengar langsung keluhan masyarakat tentang PKS (seperti isu pengikut Wahabi, pragmatisme politik yang mengabaikan nilai agama, dll) –tanpa mereka tahu, bahwa dia penentu kebijakan di PKS. Tipe kepemimpinan unik dalam tradisi politik Indonesia. Dari sini konsolidasi digerakkan.

Aspek keempat adalah konsolidasi basis massa yang belum tuntas dirumuskan PKS, karena sepanjang dua dekade pasca reformasi belum terbentuk basis sosial baru dalam perpolitikan Indonesia. PKS masih dicirikan sebagai partai urban dengan konstituen mayoritas kaum terdidik, padahal hasil pemilu 2014 menunjukkan perluasan suara PKS hingga ke daerah pedalaman (Papua/Papua Barat), dan turun/stagnannya dukungan PKS di daerah perkotaan. Target pemilu bagi PKS selaku ‘Partai Dakwah’ bukan semata perolehan suara meningkat, melainkan apakah basis sosial baru tumbuh untuk melakukan transformasi bangsa? Menyadari posisinya sebagai partai menengah, PKS terbuka untuk berkolaborasi dengan kekuatan sosial-politik manapun yang sejalan dengan visi-misi Indonesia Madani.

Dengan wawasan konsolidasi yang komprehensif itu, terlalu sempit jika ada yang menyimpulkan gugatan yang dihadapi Presiden PKS saat ini telah mengganggu soliditas partai. Laporan mantan kader PKS tentang fitnah dan pencemaran nama baik itu seharusnya ditolak Bareskrim Polri, karena yang bersangkutan mengaku anggota Fraksi PKS di DPR RI. Padahal sejak 1 April 2016, yang bersangkutan sudah dipecat dari keanggotaan PKS berdasarkan keputusan Majelis Tahkim PKS tertanggal 11 Maret 2016. Secara substansial/faktual, yang bersangkutan bukan lagi anggota PKS, meskipun proses hukum formal masih berjalan.

Tuduhan bahwa Presiden PKS telah melakukan fitnah karena menyebut “pembohong dan pembangkang di media massa”, tidak tepat sasaran. Karena pihak yang pertama kali menyebut pembohong adalah Ketua MS PKS, seperti diberitakan dalam Warta Kota (30/4/2017): “Fahri sudah final bukan PKS lagi,” kata Salim di sela acara Milad ke-19 PKS, Hotel Grand Sahid, Jakarta, Minggu (30/4/2017)… ‘Kalau sudah dipecat, selesai, masyarakat sudah tahu kalau tetap menulis itu, ya jelas suatu kebohongan,’ tutur Salim Segaf.” (http://wartakota.tribunnews.com/amp/2017/04/30/ketua-majelis-syuro-fahri-hamzah-sudah-final-bukan-pks-lagi?).

Mengapa yang bersangkutan tidak berani menggugat Ketua MS PKS yang menjadi referensi bagi Presiden PKS untuk menjelaskan status sebenarnya kepada publik? Apakah kita masih bisa percaya akan reputasi personal dari seseorang yang tidak peduli dengan reputasi partai yang pernah membesarkannya atau reputasi lembaga publik yang dipimpinnya? Betapa banyak gugatan yang dapat ditujukan kepada yang bersangkutan, bila semua ucapan dan tindakannya selama ini diproses hukum?

Salah satu contoh pernyataan oknum mantan kader itu yang bersifat mengadu-domba ialah: “Fahri Hamzah Dorong Jazuli Juwaini Pimpin PKS Gantikan Sohibul Iman” (http://politik.rmol.co/read/2018/03/08/329879/Fahri-Hamzah-Dorong-Jazuli-Juwaini-Pimpin-PKS-Gantikan-Sohibul-Iman-). Itu jelas suatu hasutan, karena Ketua Fraksi PKS di DPR RI (Jazuli Juwaini) tidak pernah bermanuver untuk mengganti Presiden PKS, dan telah mengirimkan surat kepada Pimpinan DPR RI setidaknya lima kali (15/4/2016, 18 Agustus 2016, 29 November 2016, 19 Juni 2017, dan 11 Desember 2017) untuk mengganti posisi Wakil Ketua DPR RI dengan Ledia Hanifa, lalu yang bersangkutan dinyatakan bukan anggota Fraksi PKS lagi (http://www.kabarmedia.info/2018/03/didukung-fahri-hamzah-jadi-presiden-pks.html?m=1 danhttps://news.okezone.com/read/2016/04/11/337/1360103/top-news-pks-rombak-fraksi-nihil-nama-fahri). Polisi harus melihat track record pelapor itu, jika mau diusut banyak ucapan dan tindakannya akan berdampak hukum.

Masyarakat umum perlu menyadari kerumitan hukum di Indonesia, apalagi terkait sengketa partai politik. Belum pernah ada sejarahnya, gugatan anggota parpol yang dimenangkan peradilan, karena memang UU Partai Politik (Nomor 2 Tahun 2008 juncto UU Nomor 2 Tahun 2011) menyerahkan perselisihan partai politik kepada kewenangan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain. Dalam konteks PKS, kewenangan itu ada pada Majelis Tahkim. Selama status partainya absah dan mahkamah partainya juga absah, maka putusan apapun yang diambil internal partai itu dipandang absah. Persoalan muncul, jika status partai atau mahkamah partainya diragukan. Hal itu ditegaskan kembali dalam Surat Edaran MA Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. Ketentuan tentang perselisihan partai politik akibat ketentuan Pasal 32 ayat (5) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sepenuhnya merupakan kewenangan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain.

Kekalahan di tingkat pertama dan banding merupakan ujian tersendiri bagi PKS, yang konsisten mengikuti prosedur hukum positif. Hal itu menjadi pelajaran bagi partai-partai lain yang mungkin menghadapi kasus serupa di masa datang. Peradilan perdata terhadap PKS memperlihatkan keganjilan dari awal, sejak putusan sela yang dilakukan secara tergesa-gesa (16/5/2016) dan tidak mendengarkan pandangan tergugat (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160516122800-12-131011/fahri-hamzah-diuntungkan-putusan-sela-hakim danhttps://nasional.kompas.com/read/2016/05/16/19463261/Hakim.Jatuhkan.Putusan.Sela.PKS.Ajukan.Banding.dan.Mengadu.ke.KY). Hingga putusan tingkat pertama di PN Jakarta Selatan yang salah menyebut subyek hukum partai lain. Semua keganjilan itu sudah dilaporkan ke Komisi Yudisial, karena ada tindakan hakim yang tak professional (unprofessional conduct). Semoga majelis hakim MA memeriksa proses pengambilan putusan yang keliru di tingkat PN dan PT, serta merujuk pada surat edaran Ketua MA tentang perselisihan parpol.

Andai putusan kasasi menentukan PKS kalah, maka kader dan konstituen PKS perlu bersabar diri. Pengalaman ini menyadarkan pentingnya reformasi hukum dan lembaga peradilan agar sejalan dengan rasa keadilan masyarakat. Selama ini perhatian PKS belum terlalu intensif untuk pembenahan hukum nasional, termasuk penyiapan SDM Hakim dan Jaksa yang profesional. Oknum mantan kader itu bisa saja memenangkan proses peradilan, namun untuk menjadi kader PKS harus melalui proses sesuai AD/ART PKS. Konstitusi partai harus jadi rujukan, karena AD/ART PKS telah dinyatakan sah dan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau produk perundangan lain. Di situ terlihat kompatibilitas regulasi internal PKS dengan sistem hukum nasional.

Di tengah dinamika organisasi dan gejolak politik nasional/global saat ini, penting sekali untuk melakukan konsolidasi pemikiran dan hati. Kader PKS sudah terlatih menghadapi berbagai tantangan. Fitnah terhadap Presiden PKS bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Karena partai yang serius melaksanakan misi perbaikan organisasi dan kondisi bangsa, pasti akan menghadapi tantangan berat dari berbagai penjuru.