Refleksi Akhir Tahun Forum Komunitas Hijau 

Menjaga Situs Sejarah dan Penyelamatan Kedaulatan Ruang dari Ancaman Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia(UIII)

DepokNews — Di tengah upaya warga Depok memperjuangkan penyelamatan situs-situs sejarah agar kota itu memiliki jejak masa lalu sebagai penanda kebaradaannya yang historis, Pemerintah Pusat malah merencanakan akan membangun Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di area situs sejarah Rumah Cimanggis, Depok, yang berasal dari abad ke-18. Terlebih lagi yang menyedihkan adalah Pemerintah Depok melalui walikotanya pun menyetujui rencana tersebut.

Padahal ini adalah sikap yang jelas tidak sejalan dengan amanat UU No. 10 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya yang melindungi dan ingin melestarikan bangunan bersejarah. Di dalam UU tersebut amanatnya jelas dalam Pasal 5, yaitu:
Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:

1. Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

2. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun.

3. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan

4. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Rumah Cimanggis jelas memenuhi kriteria itu semua, sebab:

1. Berasal dari abad ke-18, yaitu masa pemerintahan Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra (1761-1775). Jadi berusia lebih 250 tahun.

2. Bangunan Rumah Cimanggis jelas menunjukan gaya arsitektur khas Batavia abad ke-18, terutama Indische Woonhuis pada kusen yang bergaya renaissance dengan ukiran ‘rokoko’ atau ‘louis quinze’.

3. Rumah Cimanggis adalah satu-satunya bangunan yang tersisa yang dapat memperlihatkan kaitan antara sejarah Batavia dengan Depok. Karena itu sangat berguna untuk pengetahuan mengenai suatu era prach en praal atau hidup mewah dengan membangun rumah yang mahal dan istimewa di Ommelanden atau pinggiran Batavia.

4. Karena umurnya yang tua dan sejarahnya yang kaya membuat rumah Cimanggis suatu artefak sejarah yang sangat bernilai karena memuat banyak rekaman masa lalu yang penting bagi sumber pengayaan identitas, bukan hanya masa VOC tetapi juga masa Sukarno yang menjadikannya rumah transit kala menuju istana Bogor atau Cipanas.

Berlatar belakang itulah, kami selaku pencinta artefak sejarah meminta agar Bapak Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden yang mewakili Pemerintah Pusat dan Bapak Idris Abdussomad sebagai Walikota yang mewakili Pemerintah Kota Depok dalam proyek pembangunan UIII agar memperhatikan situs sejarah Rumah Cimanggis, serta dapat melestarikannya sesuai amanat UU No. 11 Tahun 2010. Dijaga, agar situs itu punya area yang memungkinkan. Bukan saja diselamatkan bangunannya, juga lingkungannya agar dapat menjadi sumber kebanggaan sekaligus pelajaran dari masa lalu kita yang kaya.

JJ. Rizal selaku salah satu ahli sejarah mengatakan, Indonesia sudah banyak memiliki universitas Islam, bahkan berlebihan. Tetapi, Indonesia sangat jelas kekurangan bangunan bersejarah, bahkan krisis karena langka. Sebab itu jika Nawacita butir ke-8 jelas-jelas menyebut memanfaatkan sejarah sebagai sumber nilai, maka marilah kita hargai sejarah yang hidup salah satunya dalam warisan sejarah berupa bangunan tua.

Padahal kewenangan pemerintah kota juga mencakup ranah ijin peruntukan dan pembangunannya.
Ke depan, dikhawatirkan UIII akan berimbas pada desakan terhadap ke keberlanjutan Kota Hijau.
Urusan sampah dan penggunaan air tanah yang belum bisa diatasi. Apalagi jika dilihat dari arus lalu lintas yang sampai saat ini belum ditemukan formulasi solutif untuk pemecahan masalah kemacetan di wilayah sekitar lokasi UIII tersebut.

Kawasan Depok memiliki satu kesatuan Ekologi dan Hidrologi dengan Ibukota. Sehingga dibutuhkan sinergitas antar wilayah dan pemerintah untuk “mengamankan” alur tersebut. Banjir yang kerapkali terjadi di ibukota ditengarai karena rusaknya sistem hidrologi yang ada. Para pejuang lingkungan yang tergabung dalam Forum Komunitas Hijau (FKH) menyayangkan rencana pemerintah pusat yang “terkesan” terburu-buru dalam membangun UIII, tanpa mengindahkan aspek keberlanjutan kota.

Menimbang daya dukung dan daya tampung lingkungan di Kota Depok, FKH mendorong pula Pemerintah Kota agar mempertimbangkan ijin pendirian bangunan UIII. Hal ini sejalan dengan upaya penambahan ruang terbuka di Kota Depok, yang sampai saat ini masih belum maksimal pemenuhannya. Apalagi secara peruntukan, belum ada perubahan mengenai RTRW untuk kawasan yang sedianya akan dibangun UIII tersebut. Bahkan rencana peletakan batu pertama pada Kamis (21/12) yang akan datang ditengarai belum memiliki legalitas formal terhadap perubahan aturan mengenai RTRW tersebut. Baik aturan perundangan, maupun Peraturan Presiden (perpres)-nya.

Demikian paparan yang disampaikan Heri Saefudin selaku Koordinator FKH, yang di-amini oleh Didit selaku Koordinator Bidang Edukasi Publik di FKH dalam acara Sarasehan Akhir tahun FKH Depok di Kampung 99 Pepohonan, Meruyung, pada hari Sabtu (16/12) lalu.