Ramadhan, Alternatif Solusi Ekonomi dan Sosial Indonesia

Oleh : Ibnu Utama*

Data menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan anomali secara ekonomi relatif terhadap bulan-bulan lainnya. Dan seperti biasanya pemerintah akan ikut campur tangan menekan harga-harga konsumsi yang cenderung naik.

Agak aneh memang, karena pada dasarnya bulan puasa seharusnya konsumsi terhadap bahan pangan normalnya adalah menurun, namun yang terjadi justru sebaliknya, harga bahan pokok cenderung naik, dan tempat-tempat makan seperti restoran dan warung justru mengalami kenaikan gairah permintaan. Belum lagi belanja barang sandang yang juga hampir dipastikan naik dari sisi permintaan.

Studi AC Nielsen sebelumnya menunjukkan kenaikan penjualan barang-barang konsumsi sebesar rata-rata 9% setiap tahunnya. Penjualan biskuit melonjak hingga 5 sampai 10 kali dari periode bulan sebelumnya. Penjualan Sosis dan Bakso melonjak 34%.

Kerapkali pemerintah kehilangan akal dalam menjaga harga bahan pangan, misalkan adalah daging mentah. Pernah pemerintah mengupayakan agar harga daging sapi di kisaran Rp. 80.000,- per kg, dengan melakukan imort daging entah itu dari India atau itu entah dari Brazil. Yang pastinya itu semua sia-sia belaka, karena spesifikasi kualitas daging tersebut beda dengan daging lokal yang lebih segar, ya pasti kelas harga dagingnya berbeda. Ada yang salah? Tidak ada yang salah. Pertanyaannya yang kurang tepat, siapa yang bahlul? Jawab sendiri ya siapa yang bahlul.

Jelas-jelas kita disini menganut pasar bebas, artinya harga akan ditentukan oleh mekanisme pasar: berapa kuantitas penawaran? Berapa kuantitas permintaan? Harga yang terjadi ya dipertemuan kuantitas permintaan dan penawaran.

Sederhananya masalah pangan adalah masalah konflik kepentingan agregat antara orang kota sebagai konsumen dan orang desa sebagai produsen. (walau tidak sesederhana seperti ini) Lalu di tengahnya ada pedagang yang sering dituduh sebagai spekulan, yang sering mempermainkan harga. Walau sepenuhnya tidak selalu benar mengenai masalah ini. Kenapa? Karena bila margin terbaik didapatkan oleh pedagang, maka orang-orang akan berbondong-bondong menjadi pedagang dan akhirnya akan terjadi kesetimbangan baru mengenai kuantitas pemain produsen, distributor atau pedagang dan konsumen.

Lalu dimana letak permasalahannya? Letak masalahnya adalah faktor resiko yang terlalu tinggi, yang terletak di produsen dalam hal ini adalah petani. Orang-orang berfikir dua-tiga-empat kali untuk menjadi petani, karena resiko yang terlalu tinggi ini. Apalagi ada intervensi pemerintah untuk menurunkan harga. Sehingga orang-orang tidak akan pernah bergairah menjadi produsen pertanian.

Kelompok-kelompok atau organisasi pertanian saat ini hampir dibilang gagal sebagai perwakilan petani. Karena kehadiran mereka sama sekali tidak bisa mengatur ritme volume produksi dengan harga pembelian yang wajar untuk hasil-hasil pertanian itu sendiri. Hal ini bisa dibandingkan dengan asosiasi petani (koperasi) kedelai Amerika Serikat yang pernah dipimpin oleh presidennya, Jimmy Carter.

Memang ini lumayan kompleks, tapi jika pemerintah serius, sedikit cerdas, dan mau keringat, maka masalah-masalah di atas semustinya dapat diciptakan. Biarkan harga naik pada bulan Ramadhan karena hal itu baik untuk kegairahan perekonomian, sekaligus meningkatkan taraf hidup pedagang dan petani. Yang pasti harga tidak akan kemana-mana bila kuantitas supply juga bagus, pasti akan ada titik kesetimbangan harga. Dan orang-orang akan bergairah menjadi petani dan pedagang, maka kuantitas akan supply penawaran akan naik, dan harga akan terkoreksi mengikuti permintaan dan penawaran. Jangan pakai cara-cara bodoh seperti import yang terpersepsikan akan menekan harga, padahal hampir tidak pernah ada kejadian.

Sekali lagi, yang perlu dihindarkan adalah barang import, karena tidak akan ada nilai tambah yang didapat secara signifikan. Sepanjang harga naik, dan dana pembelian kembali ke desa itu tidak akan masalah, karena perputaran uang pasti akan balik lagi ke kota sebagai konsumsi orang desa. Dan ekonomi akan bergairah, pemerintah bisa akan “gain” lagi dari pajak, walau pajak yang baik adalah pajak yang kecil secara perseorangan atau per transaksi, namun bila transaksi banyak (volume transaksi tinggi) karena gairah ekonomi yang tinggi, maka yang didapatkan pemerintah juga banyak pada akhirnya.

Nah, klimaksnya adalah saat Lebaran, yang mana terdapat putaran dana yang dibawa dari kota ke desa-desa untuk dibelanjakan di desa-desa, sehingga terjadilah arus yang masif dana, setiap tahunnya sekitar di angka Rp. 160 Trilyun, sehingga terjadilah pemerataan perekonomian. Lengkaplah keberkahan Ramadhan.

Ahlan wa Sahlan ya Ramadhan,

*Ibnu Utama
Pengamat Industri
(warga Depok, alumni S1 Teknik Industri ITB dan S2 FEUI)