PKS Tidak Berkhianat

Oleh: Sapto Waluyo (Direktur Center for Indonesian Reform)

DepokNews– Dinamika politik pasca pilkada serentak 2018 kembali menghangat. Perdebatan kini menjurus ke proses pencalonan jelang pemilihan presiden 2019. Sebagaimana lazimnya, para pengamat memprediksi format koalisi partai politik yang akan berlaga dan figur kandidat (capres dan cawapres) yang dijagokan. Di antara pengamat yang tergolong rajin mengkritisi parpol Islam adalah Tony Rosyid, yang menyebut diri pemerhati bangsa.

Dalam artikel di Pos Metro (16/7/2018), Tony menulis, prioritas partai oposisi mestinya menang di pilpres 2019, jangan terpecah dengan ego masing-masing. Jika tidak melakukan itu, simpul Tony, maka partai-partai yang mengaku membela umat (PKS dan PAN) akan dianggap jualan umat dan dituduh berkhianat. Simpulan itu masih spekulasi, karena judul tulisan Tony juga berakhir dengan tanda tanya.

Terlalu gegabah menyimpulkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PAN mungkin berkhianat, ketika menghadapi dinamika pembentukan koalisi dan terkesan lambat mengajukan calon presiden. Mengapa pertanyaan tendensius itu hanya ditujukan kepada kedua partai, bukan parpol lain? Sementara definisi pengkhianatan terhadap apa (komitmen/kontrak politik) atau siapa (individu/kelompok) tidak dijelaskan dengan tegas.

Yang lebih aneh, Tony menyarankan: PKS dan PAN membentuk koalisi alternatif (89 kursi DPR RI), lalu menggandeng Partai Demokrat (61), sehingga bisa mengajukan capres sendiri, walau tanpa Gerindra (73). Lha, apakah Tony secara sadar mendorong PKS untuk ‘berkhianat’ terhadap komitmen koalisi Gerindra, lalu berharap dengan Demokrat yang belum jelas format koalisinya? Siapa bisa menjamin bahwa Demokrat akan benar-benar membela ‘kepentingan umat’ dibandingkan Gerindra? Pengalaman Pilpres 2014 sebenarnya bisa menjadi alat ukur, agar analisis Tony tidak ngawur.

Lebih jauh, Tony menawarkan: jika Gerindra mau gabung lebih bagus lagi, asal tanpa syarat capres, sehingga membangun kekuatan baru, yakni poros empat partai (223 kursi DPR RI). Saran yang bagus, tetapi konsekuensinya ditujukan terutama kepada partai yang berhajat besar, yakni Gerindra dan Demokrat: apakah mereka sepakat dengan capres-cawapres bersama?  Yang harus dituntut menanggalkan egonya adalah partai-partai yang berambisi besar, seperti Gerindra (apakah tetap dengan capres Prabowo Subianto) dan Demokrat (apakah ngotot dengan pencapresan Agus Harimurti Yudhoyono)? Partai-partai menengah (PKS dan PAN) akan menyesuaikan dengan format kesepakatan yang terbangun. Itu cara pandang yang adil. Tak ada yang perlu dicap sebagai berkhianat dalam proses politik, sebelum ada komitmen final tertulis.

Nada artikel Tony mirip dengan acara talk showOPSI (Opini Dua Sisi) di Metro TV (2/7/2018) tentang “Sinyal Pilkada untuk Pilpres”. Dalam unjuk wicara itu tampil narasumber kubu petahana dan oposisi: Adian Napitupulu (PDIP), Nusron Wahid (Golkar), Akbar Faisal (Nasdem) berhadapan dengan Mardani Ali Sera (PKS), Jansen Sitindaon (Demokrat), Ahmad Riza Patria (Gerindra), denganhost Aviani Malik.

Di tengah debat panas, tetiba Nusron berkata dengan nada menyindir, bahwa proses negosiasi yang berlarut-larut memberi kesempatan PKS untuk berkhianat terhadap Gerindra. Sindiran itu dibantah langsung petinggi Gerindra, karena komunikasi politik memang membutuhkan kesabaran dan kecermatan. Namun, tokoh PDIP yang mantan pentolan gerakan mahasiswa kiri Forkot (Adian) mencecar terus, ke arah mana pengkhianatan PKS, tanpa menunjukkan bukti kongkrit.

Sayang sekali, Mardani selaku pimpinan PKS dan inisiator gerakan nasional #2019GantiPresiden tidak menjawab lugas, bahwa dalam sejarah politik PKS tidak dikenal istilah berkhianat. Orang yang menuduh PKS telah berkhianat, jangan-jangan dia sendiri yang suka berkhianat. Coba tanya Prabowo: siapa yang setengah mati berjanji di Batu Tulis, Bogor (2009) untuk saling mendukung dalam pilpres 2009 (pasangan Megawati-Prabowo), tapi kemudian berkhianat dalam pilpres 2014 (mengusung Jokowi-Jusuf Kalla)? Mengapa pula partai besar (Golkar) ikut mendukung Koalisi Merah-Putih dalam pilpres 2014, tetapi setelah mengetahui hasil pilpres (Prabowo-Hatta kalah) justru yang paling pertama cabut dari koalisi untuk mendapatkan kursi kekuasaan? Siapa yang punya rekam jejak berkhianat, publik pasti tak akan lupa! Mereka yang menuding PKS telah berkhianat, sebaiknya mengaca dulu di cermin.

Spekulasi Tony atau sindiran Nusron dan Adian sungguh tak berdasar. Mereka hanya bersilat lidah di balik imajinya sendiri, tak ada fakta yang mendukung: bahwa PKS berkhianat. Mau dicari-cari sampai gosip politik yang paling murahan sekalipun, tak ada bukti PKS telah berkhianat terhadap mitra politiknya.

Publik sudah muttafaqun alaih: PKS tidak berkhianat dan bukan tampang pengkhianat. Dalam fakta perjalanan politik kontemporer di tingkat lokal dan nasional, PKS justru menjadi korban ‘pengkhianatan’ berbagai pihak yang ingin memenangkan ambisi pribadi/kelompoknya. Bagi pengamat yang obyektif, PKS terkesan lugu dan membiarkan dirinya dimanfaatkan kepentingan lain. Tapi, PKS memang memiliki jati diri dan sikap politik yang unik, tak banyak orang bisa memahaminya.

Dalam pembentukan KMP yang mengusung Prabowo-Hatta di pilpres 2014, PKS mendukung total meski bukan kadernya yang dicalonkan. Kader PKS antusias berkampanye dan mengawal kotak suara, hingga detik penghitungan yang penghabisan, di saat petinggi partai lain mulai kasak-kusuk menyeberang ke kubu lawan. Publik menyaksikan selama empat tahun berkoalisi, PKS setia menemani Gerindra sebagai oposisi, walaupun dibujuk dan ditawari kursi kekuasaan atau diintimidasi secara internal/faksionalisasi partai dan eksternal/opini publik. Loyalitas PKS tak ada yang meragukan!

Elite politik yang memilih sikap netral dalam pilpres 2014, ternyata menyimpang ambisi untuk memasangkan anak emasnya dengan petahana dalam pilpres 2019. Apakah itu yang disebut jualan aspirasi umat/rakyat? Kita harus mendefinisikan secara kontekstual (lingkup masalah dan momentum): apa yang dimaksud dengan ‘aspirasi politik umat Islam’ dan siapa yang disebut ‘umat’ secara politik?

Bagi orang yang tidak terlibat dalam proses politik dan menjadi pengamat jarak jauh, PKS terkesan lambat dan tidak punya sikap jelas, bahkan cenderung egois. Sedangkan, bagi mereka yang memahami rumitnya proses politik dan berpengalaman lapangan, mereka justru melihat PKS terlalu legowo dan bermurah hati. PKS tidak terjebak pada alasan subyektif, tetapi memperhatikan kepentingan obyektif: baik bagi umat Islam sebagai segmen pemilih terbesar, maupun bagi bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi yang belum tuntas melaksanakan reformasi. Sikap low profile PKS di era kepemimpinan baru (Salim Segaf al-Jufri dan Mohammad Sohibul Iman) telah memunculkan kejutan.

Dalam pilkada DKI Jakarta 2017 yang menampilkan pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Shalahuddin Uno, PKS rela tidak mencalonkan kadernya dan menempatkan Mardani Ali Sera selaku Ketua Tim Pemenangan Anies-Sandi. PKS mendengarkan masukan dari forum ulama dan tokoh masyarakat yang tergabung dalam Majelis Pelayan Jakarta (MPJ) yang telah menyepakati Risalah Istiqlal (2016). Masyarakat menyaksikan sikap all out kader PKS memenangkan Anies-Sandi dan mengalahkan petahana Ahok-Djarot yang kuat secara dukunganpolitik, ekspos media dan dukungan finansial. Disamping itu, masyarakat juga menyaksikan siapa kekuatan politik yang telah memecah ‘suara umat’ demi mempertahankan ambisinya.

Aspek yang jarang diungkap adalah kekuatan mesin partai dan pengorbanan kader untuk memperjuangkan agenda umat: perubahan di Ibukota Jakarta, dengan biaya efisien. Silakan tanya kepada Sandi Uno yang akhirnya terpilih sebagai Wagub DKI Jakarta, berapa biaya operasional pemenangan pasangan Anies-Sandi: apakah lebih mahal/murah dari perebutan kursi Ketua Umum di oganisasi HIPMI atau KADIN? Mardani menyebutkan, biaya pemenangan Anies-Sandi yang dikelolanya lebih efisien dari biaya pemenangan pilkada di Kabupaten Lebak, Banten. PKS bersama Gerindra sudah membuktikan: popularitas kandidat dan kelimpahan finansial bukan lagi faktor utama pemenangan. PKS bersama Gerindra terbukti sukses mengelola aspirasi umat yang menguat setelah gerakan sosial ‘212’ (Aksi Bela Islam).

Kolaborasi politik PKS-Gerindra diuji kembali dalam Pilkada Jawa Barat tahun 2018, dengan sedikit goncangan. Pada mulanya, kedua partai sepakat mengusung Deddy Mizwar-Ahmad Syaikhu yang dipercaya mewakili aspirasi umat. Namun, hubungan Demiz selaku kandidat tidak harmonis dengan Gerindra, hingga akhirnya lebih memilih bergabung dengan Demokrat (dan selanjutnya berpasangan dengan Dedi Mulyadi dari Golkar). PKS tidak ingin mencampuri urusan internal mitra koalisi atau kecenderungan pribadi kandidat, tetapi ketika terjadi kesepakatan mengusung Sudrajat-Ahmad Syaikhu, maka PKS tidak akan mundur ke belakang. Meskipun semua lembaga survei meremehkan pasangan itu dan meramalkan kekalahan telak.

Mental kader PKS telah kebal dengan berbagai tribulasi, termasuk tekanan dari dalam dan luar negeri. Dengan dana swadaya, tanpa sponsor politik siapapun, mesin politik PKS bergerak di seluruh pelosok Kota/Kabupaten se-Jawa Barat. Elektabilitas pasangan Asyik (Ajat-Syaikhu) meroket dari 4-5 persen menjadi 29 persen, hanya dalam waktu dua pekan menjelang pencoblosan. Sebenarnya itu fenomena politik yang menarik untuk dikaji bagi surveyor dan pengamat politik yang obyektif, mirip dengan kondisi pilkada Jakarta ketika popularitas kandidat petahana (Ahok) berbanding terbalik dengan favorabilitas dan elektabilitasnya. Silakan tanya kepada Sandi Uno selaku Wakil Ketua Umum Dewan Pembina Gerindra tentang biaya operasional pilkada Jawa Barat, apakah lebih tinggi/rendah dari biaya pemenangan pilkada Jakarta? Bahkan, dengan tenang Sandi tetap berangkat ke New York dalam kapasitas Wagub DKI Jakarta dan tidak menyaksikan langsung pencoblosan pada tanggal 27 Juni 2018. Mungkin sudah yakin akan menang pilkada Jabar.

Kekalahan pasangan Sudrajat-Syaikhu dari Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum memberi pelajaran berharga bagi PKS dan Gerindra, tetapi tidak kaitannya dengan pengkhianatan komitmen koalisi. PKS sepenuhnya menyadari, jika ingin memenangkan pilpres 2019, maka kelompok oposisi harus berjuang keras untuk memenangkan pilkada di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. PKS sudah membuktikan efektivitas mesin politik dan kegigihan kadernya, biarkan partai lain melakukan introspeksi.

Dinamika pasca pilkada 2018 itu yang mempengaruhi alotnya negosiasi menjelang penentuan capres 2019. Terlalu dini menengarai gejala pengkhianatan seperti artikel Tony, karena kepentingan politik umat juga masih terus digodok. Ijtima Ulama yang akan berlangsung akhir Juli 2018 mungkin bisa menjadi milestone, meskipun putusan final harus ditunggu sampai dertik-detik terakhir batas pencapresan. Jangan telalu semangat mendesak capres kubu oposisi, karena formasi kandidat petahana saja masih kabur. Seketika Jokowi menetapkan cawapres pendampingnya, maka kita akan menyaksikan pergeseran sikap partai pendukungnya –yang tak perlu dicap pengkhianatan. Rekam jejak PKS selalu memperhatikan kecenderungan umat yang dinamik.