PKS Bukan Pemburu Jabatan

DepokNews–Setelah penetapan Sandiaga Uno selaku calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkannya jadi sorotan. Kontraversi muncul tatkala pengurus DPD Gerindra Jakarta, M. Taufik, berkomentar keras terhadap tokoh PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang dituduhnya memburu jabatan. Karena proses pengisian jabatan Wagub yang baru harus melalui pemilihan di DPRD.

“Itu yang bilang (pengganti Wagub) PKS kan? Sabar dong PKS, sudah kaya pemburu jabatan saja. Memangnya jabatan itu apaan dibagi-bagi gitu? Memangnya kita sedang bagi-bagi jabatan?,” sergah Taufik.

Padahal, pengurus DPP Gerindra sudah memberi sinyal positif, tak ada masalah dengan PKS. “Karena pengusung (Gubernur dan Wagub) dari Gerindra dan PKS, ya nanti mungkin calon Wagub DKI Jakarta pengganti Sandi itu sesuai kesepakatan dari pengusung yaitu PKS,” kata Waketum Gerindra Fadli Zon di kediaman Prabowo.

Saat ditanya soal siapa nama yang mungkin mengisi pos yang ditinggalkan Sandi, Fadli mempersilakan media bertanya langsung kepada PKS. “Pernyataan Fadli jelas berbeda dengan Taufik, PKS tidak memburu jabatan karena koalisi yang terbentuk dalam Pilkada Jakarta tahun 2017 bersifat setara. Koalisi itu berlanjut dalam pemilihan presiden 2019, sehingga wajar bila ada konsekuensi saling mendukung,”kata Sapto Waluyo, Direktur Center for Indonesian Reform (CIR) melihat kontraversi yang berkembang.

Tindakan Taufik dan oknum Gerindra lain bisa merusak koalisi yang baru dibangun Gerindra dengan PKS, PAN dan Demokrat dalam rangka pemenangan pilpres 2019. Dalam kesepakatan koalisi empat partai, PKS telah berkorban karena salah seorang pimpinannya (Salim Segaf al-Jufri) yang didukung Ijtima Ulama untuk menjadi cawapres pendamping Prabowo telah legowo tak dicalonkan. Prabowo mengakui pengorbanan dan kesetiaan PKS tidak hanya sebentar, tapi sejak pilkada DKI Jakarta dan Jawa Barat.

“Prabowo selaku pimpinan tertinggi Gerindra harus mampu mengendalikan anak buahnya, terutama yang memiliki ambisi pribadi dan bisa merusak koalisi antar partai. Jangan terulang tragedi dalam pilkada Jabar, dimana ambisi pengurus DPD Gerindra telah mengguncang formasi cagub-cawagub yang diusung PKS-Gerindra, sehingga menjadi salah satu faktor kelemahan,” ujar Sapto yang meneliti monitoring media sosial dan media online terkait pilkada.

Pengisian jabatan Wagub DKI Jakarta kali ini berbeda dengan masa Basuki Tjahaja Purnama, ketika menggantikan Joko Widodo sebagai Gubernur (2014). Berdasakan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang berlaku saat itu, Gubernur bisa langsung mengusulkan pengganti Wagub kepada Presiden RI melalui Menteri Dalam Negeri. Waktu itu, PDIP sebagai partai pengusung mengajukan calon tunggal Djarot Saiful Hidayat sebagai Wagub.

Sekarang berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 2106 sebagai revisi kedua atas Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Partai pengusung harus mengusulkan 2 (dua) calon Wagub, lalu dipilih DPRD dan ditetapkan oleh Presiden. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 174 yang menyatakan pada Ayat (1): ”Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara bersama-sama tidak dapat menjalankan tugas karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1), dilakukan pengisian jabatan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.”

Ayat (2) menjelaskan: ”Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung yang masih memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan 2 (dua) pasangan calon kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dipilih.” Proses pengajuan calon Wagub dan pemilihan DPRD akan menguji koalisi yang dibangun PKS dan Gerindra sejak lama. Publik mengetahui jelas perjuangan kader PKS memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wagub DKI Jakarta, meskipun bukan kader partainya.

“Manuver oknum Gerindra untuk memperebutkan kursi Wagub DKI Jakarta akan berdampak buruk dan merusak koalisi pilpres yang digalang Prabowo-Sandiaga,” simpul Sapto.