Pelajaran dari Belanda: Rasisme dan Etika Pejabat Publik

Jumari Suyudin, M.Si.

(Peneliti Center for Indonesian Reform (CIR))

Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte beserta kabinetnya mengundurkan diri karena diduga telah melakukan “toeslagenaffaire”, skandal tunjangan anak (15/1). Bahkan beberapa anggota parlemen Belanda menyatakan bahwah kejadian ini sebagai ‘ketidakadilan yang belum pernah terjadi sebelumnya’.

Skandal itu mengemuka setelah ditemukan sebanyak kurang lebih 20.000 orang tua yang secara keliru telah dituduh oleh otoritas pajak Belanda karena dianggap secara curang telah melakukan klaim tunjangan anak selama beberapa tahun, dari tahun 2012. Dari kurang lebih 20.000 orangtua tersebut, sebanyak 10.000 orangtua dipaksa untuk membayar kembali (mengembalikan) puluhan ribu euro yang telah mereka terima. Dan dalam beberapa kasus hal itu telah menyebabkan pengangguran, kebangkrutan, dan bahkan perceraian di antara mereka.

Otoritas pajak sendiri pun mengakui jika tahun lalu (2020), setidaknya sebanyak 11.000 orangtua telah dipilih untuk dilakukan pemeriksaan khusus terkait penerimaan tunjangan anak, karena asal etnis atau kewarganegaraan ganda mereka, dimana hal tersebut memicu adanya tuduhan rasisme sistemik yang sudah lama ada di Belanda. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Orlando Kadir, seorang pengacara yang mewakili sekitar 600 orangtua korban, mengatakan bahwa mereka telah menjadi sasaran “akibat profil etnis oleh birokrat yang memilih nama mereka yang tampak asing”. Memang kebanyakan dari mereka yang diperiksa adalah para imigran.

Pemerintahan Belanda memberikan banyak skema insentif atau semacam bantuan sosial bagi rakyatnya. Ada bantuan untuk sewa rumah, bantuan asuransi, bantuan keringanan pembayaran pajak, bantuan perawatan anak, dan lainnya. Bantuan ini diberikan kepada para pemegang paspor Belanda ataupun bukan, asal tinggal di Belanda secara resmi, bekerja dan membayar pajak, meraka punyak hak untuk mendapatkan insentif tersebut, tentu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Terkait syarat dan ketentuan ini sangat jelas, bisa cek secara online, bisa pelajari, kira-kira layak atau tidak untuk mendapatkan bantuan tersebut.  

Terkait tunjangan untuk anak, asalkan orangtua bekerja secara legal, mencukupi batas minimal jam yang ditentukan oleh pemerintah, maka berhak mendapatkannya. Orangtua bisa melakukan klaim sendiri atas tunjangan anak tersebut, atau diurus oleh perusahaan tempatnya bekerja. Tunjangan untuk anak ini ada dua jenis, tunjangan yang diberikan setiap bulan (kindgebonden budget) dan ada yang diberikan setiap tiga bulan sekali  (kinderbijslag), tentu dengan besarannya disesuaikan dengan usia anak, semakin bertambah usia anak, semakin besar.

Yang unik, di negara-negara maju ketika pejabat tersebut berbuat kesalahan atau merasa tidak mampu dalam menjalankan amanah publik, mereka tidak segan dan malu untuk menyampaikan permintaan maaf serta memilih mengundurkan diri. Contoh terkini apa yang telah terjadi di Belanda. Contoh lain di Jepang, Perdana Menteri Shinzo Abe memilih mundur dengan alasan kesehatan, padahal masa jabatan dia masih satu tahun lagi. Hal serupa terjadi di Korea Selatan, Menteri Kehakiman yang baru menjabat kurang lebih satu bulan mengundurkan diri karena dirinya dan keluarganya dituduh telah melakukan korupsi, dan banyak lagi cerita-cerita dari negara lain. Hal inilah yang seharusnya dijadikan pelajaran bagi Indonesia.

Sudah lebih dari 75 tahun Indonesia merdeka, namun kenyataannya kita belum bisa beranjak dari jebakan negara berkembang ekstraktif, menurut definisi Daron Acemoglu dan James Robinson (2012). Reformasi 1998 yang diharapkan mampu menjadi tonggak besar bagi perubahan bangsa menuju kemajuan yang lebih baik, namun hingga sekarang masih sangat jauh dari harapan. Masih banyak anak bangsa yang belum bisa mendapatkan akses pendidikan yang layak, penganguran meningkat, ketimpangan pembangunan antar daerah dan antar golongan masyarakat. Di sisi lain, banyak pejabat baik yang sudah terbukti, maupun belum telah melakukan kesalahan atau penyelewengan (abuse of power) atas amanah yang telah diberikan rakyat. Jangankan mundur, meminta maafpun belum kita dengar terucap dari mulut mereka. Apa yang salah dengan para pejabat itu?

Pejabat publik adalah setiap orang yang dipilih atau diangkat atau mendapat tugas memangku dan menjalankan fungsi kenegaraan dan pemerintahan. Dalam bahasa yang seringkali kita dengar, pejabat publik adalah setiap orang yang duduk dalam lembaga kenegaraan atau pemerintahan untuk menjalankan amanah rakyat (Bagir Manan, 8/10/2018). Jadi mereka bukan orang sembarangan, mereka dipilih untuk menjalankan suatu amanah publik, di pundak merekalah tanggung-jawab publik ini diletakkan.

Secara etimologis, etik (ethic: Inggris, etique: Perancis, ethiek: Belanda) berasal dari bahasa Yunani “etos” yang memuat kandungan makna: “karakter (character), sikap (disposition), dan pembawaan (nature). (Stephen J.A. Ward, Ethics and Media: An Introduction). Jadi etik secara luas bisa dimaknai sebagai refleksi sejarah perjalanan dan budaya masyarakat. Bagaimana suatu masyarakat mampu merefleksikan diri atas nilai-nilai yang dianut selama ini menjadi nilai yang kemudian diterapkan dalam mengelola suatu pemerintahan. Bangsa Indonesia tidak pernah kekurangan akan nilai-nilai tersebut. 

Oleh karena itu, kalau negara ini ingin beranjak dari keadaan seperti sekarang ini, kemudian bergerak menuju ke arah tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan bertanggungjawab, mka para pejabat publik harus berani melakukan lompatan perubahan besar terkait etika dan moral mereka. Meminta maaf dan mengundurkan diri harus menjadi standar baru! Tidak ada lagi pejabat yang berbuat salah justru kemudian dengan entengnya meremehkan dan berikutnya mencari justifikasi atas tindakannya.

Rasa malu, dan munghukum diri sendiri dengan cara meminta maaf dan mengundurkan diri karena telah lalai dalam menjalankan amanah publik adalah hukuman terkecil yang harus diterima oleh pejabat publik. Berikutnya biarkan hukum pidana yang berkerja melakukan penyelidikan atas kesalahan yang telah dibuat tersebut. Hal semacam itu harus menjadi semacam panduan moral bagi para pejabat publik. []