Menjunjung Etika Berkampanye

Oleh : Hamdi, S.Sos**

Perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak bakal digelar pada tanggal 9 Desember 2020. Ada sekitar 672 pasangan calon (paslon) yang diusung partai politik dan 69 paslon dari jalur independen atau perseorangan. Mereka terdiri dari 24 paslon pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 691 paslon pemilihan bupati dan wakil bupati maupun untuk pemilihan wali kota dan wakil wali kota. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini akan diselenggarakan di sembilan provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten..

Menjelang perhelatan pilkada serentak nanti, kampanye menjadi media yang ampuh untuk “menjual” calon pemimpin daerah yang diusung dengan membawa visi, misi dan segudang janji dan program. Di era milenium kampanye tidak hanya dilakukan di dunia nyata (lewat rapat, diskusi dan debat terbuka) tetapi juga dilakukan di dunia maya melalui sarana media sosial, seperti twitter, instagram, facebook, whatsapp, dan sejenisnya. Media kampanye yang terakhir ini memiliki kelebihan yaitu mampu menjangkau wilayah yang lebih luas dan kecepatan mengakses informasi/materi kampanye yang disuguhkan kepada pengguna media sosial (sebagai target sasaran kampanye).

Dengan semakin variatifnya media kampanye, di satu sisi menguntungkan bagi calon pemilih untuk mengenal lebih jauh calon-calon yang berkontestasi di ajang pemilihan umum. Di lain sisi, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi tim sukses (timses) masing-masing calon untuk membuat kemasan kampanye yang kreatif, menarik dan, edukatif sekaligus bisa menjual sang calon.

Terlepas dari model dan cara kampanye yang beragam tersebut, ada satu hal yang harus dikedepankan oleh para calon dan timsesnya, yaitu tentang etika berkampanye. Ada lima rambu etika berkampanye yang bisa menjadi panduan bagi para peserta kampanye yang sesuai dengan norma agama dan budaya kita serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :

A. Jujur
Kejujuran merupakan salah satu kunci sukses dalam komunikasi politik. Kejujuran juga modal yang sangat berharga bagi seorang calon pemimpin. Jika saat menjadi calon pemimpin sudah terlihat kejujurannya (termasuk dalam kampanye), insyaa Allah jika kelak terpilih sikap jujur itu akan tetap melekat dalam dirinya. Dalam kampanye ia tidak akan menggunakan jurus tipu-tipu (misalnya hoaks) dan mengumbar janji demi meraih simpati dan suara calon pemilih.
Termasuk jika kampanye dilakukan lewat media sosial, ada rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh timses maupun pendukung paslon. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur tata cara kampanye di media sosial melalui perubahan Peraturan KPU No. 4/2017.Regulasi itu mengatur tentang kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota.

Salah satu poin pokok dalam regulasi tersebut adalah kampanye menggunakan media sosial harus bersifat dua arah yang terbuka bagi siapa saja sehingga para penggunanya bisa berinteraksi, berpartisipasi, berdikusi, berkolaborasi, berbagi, dan menciptakan konten berbasis komunitas. Sebagaimana yang diatur di dalam UU ITE nomor 11 tahun 2008 serta perubahan UU ITE nomor 19 tahun 2016, etika umum dalam menggunakan media sosial juga harus tetap dijaga, seperti menghindari penyebaran konten yang menyinggung unsur SARA, tidak bermuatan kekerasan dan pornografi, serta tidak menyebarkan berita bohong (hoaks)

B. Keteladanan
Kampanye hendaknya menampilkan dan menyampaikan program-program partai dengan cara dan keteladanan yang terbaik. Di antara etika kampanye yang terbaik dan simpatik adalah mengedepankan keunggulan partai yang bersangkutan tanpa perlu menjelekkan dan mengejek orang, partai atau golongan lain, seperti black campaign (kampanye hitam) dan hate speech (ujaran kebencian). Partai yang baik dan program yang bagus juga harus disampaikan dengan cara-cara yang elok dan profesional.

C. Persaudaraan
Kampanye yang baik haruslah tetap menjaga persaudaraan, tidak ghibah, saling caci maki dan mencemooh kompetitor. Kampanye bukanlah arena untuk memuaskan selera dan hawa nafsu. Perkataan yang diucapkan dan sikap yang ditampilkan harus selalu mencerminkan rasa persaudaraan sesama anak bangsa. Tidak boleh berprasangka buruk apalagi melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan, karena hal itu akan menimbulkan kerenggangan dan perseteruan yang mengganggu persaudaraan. Menang dan kalah itu wajar dalam setiap ajang kontestasi, tetapi persaudaraan sesama anak bangsa harus menjadi prioritas dan tetap dijaga.

D. Edukatif
Kampanye adalah sarana pendidikan politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kesantunan, yakni mengajak dengan cara persuasif, tidak memaksa atau intimidatif, seperti modus politik uang dan premanisme politik. Kampanye juga harus tertib, tidak mengganggu dan menghindari acara yang kurang etis. Jika dilakukan di tempat terbuka, pelaksana dan peserta kampanye juga harus memberikan hak-hak kepada pengguna jalan. Misalnya, mengatur arus lalu lintas agar tidak menimbulkan kemacetan. Dengan demikian, kampanye edukatif ini menuntut setiap partai dan juru kampanye agar lebih inovatif, kreatif dan proaktif.

E. Perbaikan
Kampanye hendaknya dapat memberi kemaslahatan dan solusi bagi masyarakat, baik material maupun imaterial. Misalnya dalam pembuatan spanduk, stiker atau perangkat kampanye lainnya, harus memuat pesan yang baik dan mencerdaskan bagi masyarakat, seperti jargon “Stop Politik Uang dan Premanisme Politik”, “Mari Berkampanye Secara Damai dan Santun”, dan “Kami Siap Menang dan Siap Kalah”.

Begitu pula peserta kampanye maupun anggota masyarakat tidak boleh melakukan tindakan perusakan dan anarkis yang dapat merugikan kepentingan umum, seperti mengganggu ketertiban umum, mengancam meggunakan kekerasan, dan perusakan serta penghilangan alat peraga kampanye (UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 280 ayat 1 poin e, f, dan g). Jika aturan ini dilanggar, maka ancaman pidanaya menurut pasal 521 UU Nomor 7/2017 adalah penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah).

Semoga kampanye pilkada tahun ini menjadi sarana pembelajaran yang efektif dan edukatif bagi masyarakat untuk menyeleksi dan memilih pemimpin daerah yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas serta berintegritas tinggi. Kampanye sejatinya bisa menjadi sarana edukasi dan pencerahan bagi masyarakat dan bukan sebaliknya menjadi alat provokasi dan pembodohan bagi calon pemilih. Ayo kita junjung etika berkampanye!.

*Tulisan ini untuk mengisi rubrik Opini di Depoknews.
**Penulis adalah anggota Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI). Tinggal di Depok.