Menjaga Spirit Aksi 212 Dalam Bingkai NKRI

(Catatan Peringatan Dua Tahun Aksi Damai, 2 Desember 2016) Oleh : Hamdi, S.Sos**

Tak terasa hampir dua tahun Aksi Damai 212 telah berlalu. Sebuah episode sejarah bangsa Indonesia ditampilkan dengan sangat apik lewat panggung Aksi Bela Islam (ABI) III atau Aksi Super Damai 212 (Aksi 212). Jutaan manusia berkumpul, melakukan doa, zikir, mendengarkan taushiyah serta sholat Jumat berjamaah di lapangan Monas dan sekitarnya hingga Bundaran HI dan sekitarnya.

Aksi 212 yang digawangi oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) ini pun ditahbiskan sebagai aksi umat Islam terbesar sepanjang sejarah negara ini. Bahkan dianggap sebagai salah satu sholat Jumat dengan jumlah jamaah terbanyak di dunia. Diperkirakan lebih dari tiga juta orang yang hadir dalam Aksi 212 tersebut, bahkan ada yang menghitung lebih dari tujuh juta jiwa. Inilah monumen sejarah bangsa, khususnya umat Islam Indonesia, yang gaungnya sampai ke se antero dunia.

Berkumpulnya jutaan umat Islam di Monas dan sekitarnya itu tentu bukan tanpa alasan yang  jelas. Selain dalam rangka beribadah, mereka berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru tanah air untuk satu tujuan yang sama, yaitu menuntut proses hukum yang seadil-adilnya terhadap tersangka penista agama Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Aksi 212 ini adalah sekuel ketiga dari dua sekuel sebelumnya, Aksi Bela Islam (ABI) I 14 Oktober 2016 (1410) dan ABI II 4 November 2016 (411).

Lewat kedua aksi terdahulu itu massa (umat Islam) menilai Polri belum serius menanganinya sehingga belum membuahkan hasil yang memuaskan  karena tersangka Ahok belum ditahan/dipenjara seperti yang diberlakukan pada para pelaku penista agama sebelumnya, semisal Arswendo Atmowiloto, Lia Eden, Musadeq dan Rusgiani.

Dalam konteks tersebut mereka merasakan adanya ketidakadilan yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian dalam menangani kasus Ahok. Asas equality before the law (persamaan di muka hukum) yang harusnya dipraktikkan polisi ternyata tidak muncul terhadap tersangka  sang penista agama, Ahok. Polisi seolah-olah seperti “macan ompong” yang tidak bisa mengaum apalagi menerkam ketika berhadapan dengan Ahok. Kondisi inilah yang menjadi  trigger (pemicu) kekecewaan dan kegusaran umat lewat tiga sekuel aksi tersebut.

Di sisi lain, Aksi 212 melahirkan beragam warna-warni cerita. Mulai dari kisah heroik long march para santri Ciamis menuju Monas; sambutan masyarakat yang luar biasa di sepanjang jalan yang dilalui peserta long march; duka para (calon) peserta Aksi dari daerah yang merasa dihambat perjalanannya oleh aparat keamanan; suasana sholat Jumat yang diguyur hujan yang (boleh jadi) merupakan momen pertama kali yang dialami sebagian besar jamaah yang berjumlah jutaan itu; hingga keguyuban yang begitu tampak dari para jamaah yang berbeda latar belakang status sosial, aliran dan kelompok keagamaan. Semuanya bisa terjadi karena panggilan hati sebagai muslim untuk membela Al-Quran dan agama Islam.

Usai Aksi 212 tak berarti usai sudah tugas kaum muslimin terhadap agama dan kitab suci Al-Quran. Kalau demikian adanya, maka Aksi tersebut hanyalah ritual formal semata yang bersifat seremonial tanpa atsar (hasil positif) bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Muslim dan mukmin yang baik adalah yang mampu memperoleh ibrah dan hikmah dari setiap peristiwa. Spirit Aksi 212 harus terus dijaga dan dikawal oleh kaum muslimin baik dalam bingkai keislaman maupun keindonesiaan.

Menurut penulis ada empat pesan moral dari peristiwa Aksi 212 yang bisa menjadi spirit kita dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Pertama, Aksi 212 harus menjadi ”virus” yang mampu menularkan kebaikan-kebaikan (amal saleh) lainnya, khususnya relasi hamba dengan Tuhannya (hablum minallah). Sholat Jumat pada momen 212 yang diikuti jutaan jamaah bisa menjadi inspirasi umat untuk melakukan sholat-sholat wajib lainnya secara berjamaah.

Kegiatan “Sholat Subuh Berjamaah Nasional” (SSBN) yang dilaksanakan Ahad, 12 Desember 2016 (1212) lalu bisa menjadi langkah awal untuk menggerakkan kaum muslimin untuk berjamaah pada sholat wajib lainnya. Jika jumlah jamaah sholat subuh di musholla dan masjid sebanyak jumlah jamaah sholat Jumat maka program SSBN itu dianggap berhasil. Salah satu masjid yang telah berhasil mewujudkannya adalah Masjid Jogokarian Yogyakarta.

Selain itu, semangat untuk mengaji dan mengkaji Al-Quran juga harus ditumbuhkembangkan. Momen peristiwa “Al-Maidah : 51” bisa menjadi cambuk bagi kita untuk bersungguh-sungguh mempelajari ayat-ayat Al-Quran lainnya. Rasul SAW bersabda : Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya. Inilah sebagian pengamalan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kedua, pada Aksi 212 terasa sekali suasana kebersamaan (guyub) di antara para peserta aksi. Masyarakat (baik peserta aksi maupun bukan) begitu antusias untuk saling berbagi. Beragam jenis makanan dan minuman tumpah ruah tersedia bagi peserta aksi. Keguyuban mulai terasa dari perjalanan long march (rombongan Ciamis, Bogor, Depok dan sebagainya)  di mana masyarakat di sepanjang jalan menyambutnya dengan suka cita sambil menyuguhkan aneka makanan dan minuman.

Di arena aksi pun (Monas dan sekitarnya) terlihat suasana serupa. Begitu banyaknya konsumsi yang ada sampai ada peserta yang menolak pemberian dari peserta lain. Bahkan ada cerita mengharukan di mana seorang pedagang roti yang menggratiskan rotinya untuk peserta aksi tetapi justru memperoleh uang 1 juta rupiah lebih (dari peserta aksi) padahal sehari-harinya dia hanya mendapat penghasilan 200 ribu rupiah. Inilah gambaran indahnya persaudaraan dan kebersamaan dalam Islam (ukhuwwah Islamiyah). Selain peserta muslim, ada juga dari kalangan nonmuslim. Tetapi mereka bisa berbaur karena persamaan tujuan   yaitu tegakkan hukum yang seadil-adilnya terhadap Ahok, si penista agama.

Jutaan manusia yang berkumpul pada Aksi 212 dengan berbagai latar belakang suku, ras, asal daerah, profesi, status sosial, kelompok keagamaan, afiliasi  politik bahkan agama yang berbeda itu menunjukkan terciptanya persaudaraan sebangsa dan sesama manusia (ukhuwwah wathaniyah dan ukhuwwah basyariyah).

Momen di atss adalah miniatur potret kebhinekaan masyarakat Indonesia, berbeda latar belakang tetapi satu tujuan.  Allah SWT. berfirman : “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuaun, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS Al-Hujuraat: 13). Pesan moral kedua ini sangat relevan dengan sila kedua dan ketiga Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Persatuan Indonesia.

Ketiga, terkait dengan peristiwa sebelum hari-H (212). Keputusan bahwa pelaksanaan Aksi 212 dipusatkan di Monas merupakan hasil musyawarah dan kompromi antara GNPF-MUI dan Polri. Sebelumnya kedua belah pihak saling ngotot bertahan pada pendirian masing-masing. GNPF-MUI  menginginkan Aksi 212 tetap diadakan di sepanjang jalan MH Thamrin dengan berpusat di Bundaran HI. Sementara itu Polri melarang aksi di lokasi tersebut dengan alasan dapat mengganggu arus lalu lintas apalagi juga dipakai untuk sholat Jumat (yang menimbulkan kontroversi di kalangan ulama).

Alhamdulillah,  berkat jalan musyawarah yang difasilitasi oleh MUI akhirnya tercapai kata sepakat di kedua belah pihak bahwa pelaksanaan. Aksi 212 diadakan di Monas dengan kegiatan utamanya zikir dan sholat Jumat.

Untuk memperlancar kegiatan Aksi Super Damai itu lalu dibentuk tim terpadu antara GNPF-MUI dan Polri yang mengkoordinir acara tersebut. Boleh dibilang itulah hasil win-win solution di antara kedua belah pihak. Hasilnya pun, alhamdulillah, acara berlangsung damai dan lancar. Terbukti bahwa musyawarah untuk mufakat masih menjadi cara ampuh  untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, budaya dan politik di negeri ini. Hal ini sejalan dengan sila keempat Pancasila yaitu Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.

Keempat, Aksi 212 yang dilabeli dengan Aksi Super Damai memang sangat kental dengan nuansa religius (Islami). Di sana ada zikir, sholawat, taushiyah, dan ditutup dengan sholat Jumat berjamaah. Sesuai dengan namanya, jalannya acara tersebut benar-benar menampilkan kedamaian, kesyahduan, dan kesejukan. Tak ada caci maki, umpatan atau kata-kata kasar yang terucap dari jamaah peserta aksi. Semuanya larut dalam kekhusyu’an dan kekhidmatan dalam beribadah kepada Sang Maha Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selesai acara pun peserta pulang dengan tertib, tak ada taman yang rusak dan lokasi aksi kembali bersih tanpa sampah.

Melalui Aksi 212 yang super damai tersebut ada satu pesan atau misi yang ingin disampaikan kepada Pemerintah, khususnya aparat penegak hukum, yaitu menuntut proses hukum yang seadil-adilnya terhadap Ahok sang penista agama. Masyarakat menilai penanganan kasus Ahok terkesan lamban dan kurang serius ditangani oleh kepolisian, tidak seperti penanganan kasus serupa terdahulu (kasus Arswendo, Lia Eden dan Musadeq) yang langsung dan cepat dituntaskan.

Salah satu indikasi kekurangseriusan polisi adalah tidak ditahannya Ahok seperti tersangka penistaan agama lainnya di Indonesia. Hal inilah yang memunculkan opini jika hukum di negara kita (masih) berlaku tebang pilih, seperti pisau : tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Masyarakat pun bertanya-tanya, di mana asas equality before the law berada ? Diamnya Pemerintah (baca : Presiden Jokowi) atas kasus Ahok ini juga menimbulkan tanda tanya di masyarakat, ada apa dengan semuanya ini? Rentetan pertanyaan inilah yang kemudian menjadi gelombang besar tuntutan masyarakat (umat Islam) dalam bentuk Aksi Bela Islam I dan II serta puncaknya Aksi Bela Islam III (Aksi 212) yang menuntut tegaknya keadilan di bumi pertiwi.

Alhamdulillah, akhirnya pada hari Selasa, 9 Mei 2017 majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis bersalah terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kasus dugaan penodaan agama. Majelis hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto menyatakan terdakwa Ahok bersalah dalam kasus penodaan agama dan dihukum penjara selama 2 tahun. Vonis ini lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut terdakwa dengan hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun.

Di sisi lain masyarakat kita juga merindukan lahirnya keadilan di semua aspek kehidupan  yakni keadilan dalam aspek ekonomi; pendidikan; agama; sosial budaya termasuk keadilan hukum. Di zaman reformasi ini masih banyak rakyat yang  belum merasakan keadilan itu sebagaimana cita-cita luhur negara ini yakni masyarakat yang adil dan makmur. Firman-Nya : … “Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.” (QS Al-Maidah : 8). Pesan moral ini seiring dengan bunyi sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Akhir kata, semoga momentum peringatan Aksi 212 ini bisa menjadi inspirasi dan modal yang sangat berharga bagi seluruh anak bangsa dan negara Indonesia tercinta dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta merawat kebhinekaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aamiin. Wallahu a’lam bish-shawab.

Keterangan :

*Tulisan ini dibuat untuk mengisi kolom Opini di tabloid Depok News.

**Penulis adalah anggota Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI). Tinggal di Depok. HP : 0812-8706-0192.