Krisis Komunikasi di Era Darurat

Tidak mudah menyelenggarakan komunikasi di zaman normal, apalagi di masa darurat. Kesulitan bertambah, bila yang dihadapi (audiens) adalah jutaan orang yang dilanda kekhawatiran dan kepanikan. Kemampuan memilih kata dan menyusun kalimat serta paragraf tak cukup, begitu pula menentukan saluran media untuk menyebarluaskan informasi. Dibutuhkan kepekaan untuk menangkap suasana batin rakyat yang menjadi korban krisis dan kesiapan untuk melakukan koreksi apabila terjadi kesalahan sekecil apapun.

            Kerepotan itu kita saksikan, tatkala Juru Bicara Presiden RI, Fadjroel Rachman, menyampaikan kebijakan pemerintah untuk menanggulangi wabah Covid-19 dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pada Kamis (2/4/2020) siang hari (jam 12.48) akun resmi Jubir @fradjroel_ berkicau  tentang “RILIS MEDIA, Kamis (2 April 2020): Mudik boleh, tapi berstatus orang dalam pemantauan (ODP), Presiden Joko Widodo.” Maksud twit itu mengabarkan keputusan Presiden untuk membolehkan warga mudik, namun status kesehatannya dinyatakan ODP sehingga harus mengisolasi secara mandiri di kampung masing-masing.

            Isi twit itu cukup mengejutkan karena sebelumnya pemerintah menegaskan akan melarang mudik Lebaran. Bahkan, beberapa Gubernur (Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur) telah menyerukan agar para perantau dari ketiga provinsi besar itu tidak mudik untuk sementara waktu demi menjaga keselamatan warga di kampung.

            Akibatnya, dalam hitungan jam, Mensesneg Pratikno bergegas meluruskan pernyataan Jubir Presiden dengan memberi keterangan khusus kepada media massa bahwa, “Pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik” (Kumparan, 2/4/2020, jam 18.22). Sebagai konsekuensinya, pemerintah menyiapkan bantuan sosial yang diperbanyak penerima manfaatnya dan diperbesar nilainya kepada masyarkat lapisan bawah. Karena itu, warga diminta tidak mudik.

            Masih di hari yang sama (2/4/2020), tepatnya sore hari (jam 18.37), akun resmi Jubir Presiden pun akhirnya melakukan koreksi: “UPDATE RILIS MEDIA, Kamis (2 April 2020): Pemerintah Himbau Tidak Mudik Lebaran, Bansos Dipersiapkan Hadapi Covid-19” (disertakan video penjelasan resmi pemerintah). Twit itu tidak menyatakan permohonan maaf karena terjadi kesalahan informasi, tapi jelas mengoreksi twit sebelumnya.

            Kebingungan belum berakhir, karena pada waktu nyaris bersamaan, Menko Kemaritiman dan Investasi (sekaligus Plt. Menteri Perhubungan) Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan “alasan Presiden Jokowi tak melarang mudik” (Detik, 2/4/2020, jam 17.20). Ternyata, menurut Luhut, alasan Presiden sederhana: “Kalau dilarang, (masyarakat) tetap saja mudik.” Jadi, buat apa dilarang? Cukup dengan imbauan agar tidak mudik, sambil diberi bantuan sosial bagi masyarakat lapisan bawah (yang jadi pekerja sektor informal atau mengadu nasib di kota). Pernyataan Menko LBP ini bak kata pamungkas, tak ada yang berani mengoreksi.

            Masyarakat yang aktif mengakses berbagai kanal media daring dan media sosial pun sempat bingung dan kesal. Mengapa informasi kebijakan penting yang membatasi pergerakan orang dalam jumlah besar tidak dipersiapkan matang sebelum diumumkan. Atau memang sengaja diambangkan, tidak ada keputusan tegas. Siapa yang menjadi goal keeper dalam pengelolaan informasi dan komunikasi di Istana Negara sebenarnya? Mengapa kekacauan komunikasi itu bisa terjadi di lingkaran inti penentu kebijakan pada masa krisis? Atau, segala bentuk silang-informasi itu dianggap hal lumrah (new normal) dengan segala konsekuensinya di lapangan.

            Celakanya, kasus itu bukan satu-satunya insiden pada masa darurat Covid-19. Sebelumnya, Jubir Pemerintah untuk Penanggulangan Covid-19, Ahmad Yurianto, juga melakukan blunder. Dalam jumpa pers (27 Maret 2020), Yuri menutup paparannya tentang perkembangan Covid-19 di Indonesia dengan pernyataan bersayap: “Kemudian yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar, dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya. Ini menjadi kerjasama yang penting.” Wartawan dan publik terperangah, Yuri tak sempat menjelaskan lebih lanjut ungkapan ambigu itu.

            Sudah tentu masyarakat gempar, karena dengan logika awam, pernyataan itu semacam stigma terhadap golongan miskin yang dituduh menjadi penyebar wabah. Padahal, faktanya pasien terpapar Covid-19 pertama kali dari golongan mampu, dan penyebaran wabah penyakit sama sekali tidak ada hubungannya dengan status sosial-ekonomi. Lagi-lagi, Jubir resmi pemerintah merasa tidak perlu minta maaf, malah menduga ada sebagian orang yang memutar-balikkan maksud pernyataannya. Yurianto yang menjabat Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan mengaku tidak bermaksud merendahkan masyarakat miskin. Justru, ia mau menyindir golongan kaya agar tidak memberikan pekerjaan yang berat bagi warga miskin, contohnya secara spesifik ia menyebut: para asisten rumah tangga. “Tetapi persepsinya dibalik. Dikira saya menyudutkan yang miskin. Padahal saya ingin mempermalukan yang kaya gitu lho. Misalnya, di rumah punya asisten rumah tangga (ART) itu tiap hari mondar-mandir dari rumahnya ke rumah majikan, dia naik angkot kan resikonya tinggi toh untuk tertular. Kalau dia nanti sakit terus di rumah majikan sakit semua kan jadi repot.” (Detik, 29/3/2020) Klarifikasi itu bukan memperjelas, malah mengundang protes baru dari kalangan ART yang merasa disudutkan

            Dalam talk show bersama seleb-youtuber Deddy Corbuzier yang diunggah 17 Maret 2020, Yurianto juga mengeluarkan pernyataan kontroversial. Video rekaman unjuk wicara itu berjudul “Saya Emosi!!! Ternyata Benar RS Menolak Pasien Corona! (No Hoax exclusive Kemenkes menjawab)”. Protes datang dari anggota Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang merasa direndahkan karena diumpamakan seperti roomboy pada sebuah hotel. Yuri menegaskan pernyataannya bukan menghina perawat, tapi mengkritik pengelola rumah sakit yang bersikap komersialistik. “Saya kan cuma mengkritisi rumah sakit yang sekarang kehilangan fungsi sosial, berbisnis, sehingga seperti hotel saja, yang roomboy-nya adalah perawat. Kalau itu marah, marahnya di mana?” kata Yuri (Detik, 20/3/2020). Tampak jelas bahwa Yuri selaku Jubir tidak merasa salah-ucap, karena itu warga yang mendengar atau menyaksikan video rekaman harus memahami cara berpikirnya dan menangkap apa yang dia maksud, jangan menafsirkan sendiri.

            Dari dua kasus komunikasi tersebut, kita mencermati dua tipe masalah yang mungkin muncul di masa krisis. Pertama, ketidaktegasan kebijakan yang diambil pemerintah untuk merespon situasi krisis, sehingga merepotkan juru bicara untuk mengkomunikasikannya kepada publik. Koreksi dan klarifikasi menjadi kurang berarti karena publik menimbang siapa yang menyampaikannya dalam hirarki kekuasaan.

            Masalah kedua, kemungkinan munculnya opini pribadi yang mengalahkan informasi kebijakan yang benar-benar dibutuhkan publik. Penanggung-jawab krisis tentu mengetahui banyak hal dan kasus-kasus spesifik, tetapi semua aspek itu harus ditangani secara proporsional dan hasilnya tidak semua harus dikomunikasikan ke publik. Informasi yang akan disampaikan ke publik adalah informasi yang sudah matang, sungguh-sungguh diperlukan dan diperhitungkan betul dampaknya demi mempercepat penyelesaian krisis. Bukan sebaliknya, informasi yang justru menyulut krisis baru atau memecah konsentrasi penanggulangan.

            Ahli komunikasi di masa krisis, Timothy Coombs (2007) berpesan: “Akan menjadi sikap tidak bertanggung-jawab apabila mengawali strategi komunikasi pada masa krisis dengan fokus pada reputasi lembaga.” Fokus utama komunikasi di masa krisis adalah keselamatan publik atau stakeholders, dalam alinea Pembukaan UUD NRI 1945 dinyatakan: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia…”. Jangan terlalu terpaku pada reputasi lembaga (pemerintah atau swasta), karena jika masyarakat secara keseluruhan mengalami bencana kemusnahan massal, maka tak ada artinya eksistensi pemerintah atau perusahaan.

            Lembaga swasta mungkin bisa mendefinisikan lebih rinci tentang “para pemegang kepentingan” yang perlu diselamatkan sesuai dengan kepentingan atau kemampuan perusahaan. Namun, bagi lembaga pemerintahan tak ada pilihan lain: semua warga negara harus diselamatkan sesuai dengan kemampuan yang ada. Tak boleh ada diskriminasi dalam pernyataan atau aksi kebijakan, sebab segala bentuk diskriminsi justru akan menimbulkan krisis baru yang bisa mengancam eksistensi bangsa.

            Dalam refleksi filosof kontemporer, Yuval Noah Harari, pandemi virus corona baru merupakan ujian bagi kalangan ilmuwan, otoritas publik, dan media massa. Ujian bagi kalangan ilmuwan, dalam bidang kesehatan khususnya, untuk membatasi penyebaran wabah dan menemukan vaksinnya secepat mungkin. Ujian bagi otoritas publik untuk mengerahkan segala sumberdaya, terutama fasilitas kesehatan, bagi penyelamatan warga dan berbagi data tentang perkembangan nyata di lapangan. Sebab, dengan ketersediaan dan keterbukaan data itu dapat diambil langkah yang tepat dan dibangun solidaritas nasional/global untuk menghadapi pandemi. Dan, ujian bagi media untuk memberitakan fakta yang mencuatkan harapan ketimbang berspekulasi dalam beragam skenario dan teori.

            Bagi praktisi komunikasi, wabah corona ini memberikan pelajaran berharga, tak hanya Jubir yang bisa keliru. FR dan AY, tanpa maksud menyinggung personal, sudah berpengalaman panjang dalam pelayanan publik, meskipun bukan berlatar profesi ahli komunikasi. FR tercatat pendiri portal Pedoman, tapi latar belakangnya adalah aktivis dan peneliti. Sementara AY berlatar profesi sebagai dokter-tentara yang menguasai isu-isu kesehatan publik. Di atas segala kompetensi teknis, komunikasi publik di masa krisis yang berbasis kepentingan publik harus memperhatikan keandalan (accountability), keterbukaan (disclosure) dan keseimbangan kepentingan (symmetrical) [Jin, Pang & Cameron: 2010].

            Sisi akuntabilitas publik tampaknya kurang dipertimbangkan di masa krisis, seperti pernyataan Presiden Jokowi di Istana Negara usai rapat terbatas bersama Gugus Tugas Covid-19, “Saya minta kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (physical distancing) dilakukan dengan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. Tadi sudah saya sampaikan, perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil.” (Kompas, 30/3/2020). Seluruh Indonesia dibuat terkejut seketika. Jubir Fadjroel Rachman merasa perlu memberikan penjelasan atas pernyataan Jokowi mengenai kebijakan darurat sipil. “Presiden Jokowi menetapkan tahapan baru melawan Covid-19 yaitu: pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan. Hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju Darurat Sipil.”

            Ternyata, esok harinya betul yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 adalah Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar. Dikeluarkan pula Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Jadi, sama sekali tak ada keputusan tentang Darurat Sipil yang terlanjur menimbulkan reaksi keras berbagai pihak politisi, pegiat LSM, tokoh masyarakat dan akademisi.             Krisis komunikasi tampaknya menyusup di tengah serangan virus. Wacana darurat sipil seperti kotak pandora yang mengundang krisis kepercayaan lebih dalam. Padahal, Presiden Jokowi mengakui tak semua informasi tentang Covid-19 yang bisa disampaikannya ke publik (Tempo, 13/3/2020). Termasuk, mestinya wacana kondisi darurat sipil yang merupakan kewenangan seorang Kepala Negara. Kewenangan itu hanya digunakan dalam kondisi genting untuk menyelamatkan bangsa, bukan dibocorkan dalam jumpa pers atau dijadikan bahan perdebatan.