Konflik di Tanah Papua Dibahas di Universitas Indonesia

DepokNews — Pusat Kajian Kriminologi Universitas Indonesia bekerja sama dengan Indonesia-New Zealand Initiatives for Papua pada Kamis (16/11) menyelenggarakan Talk Show “Meretas Konflik di Tanah Papua di  Auditorium Juwono Sudarsono (AJS) FISIP UI.

Ketua Indonesia New Zealand Initiavities For Papua Enrino Pasullean kepada wartawan mengatakan masalah keamanan menjadi masalah yang tidak pernah selesai di tanah Papua.

Konflik sosial hingga pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik diindikasi berujung pada kerugian materil dan imateril hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Pendekatan keamanan dalam menyelesaikan konflik kami nilai berdampak pada terjadinya peningkatan eskalasi kekerasan terhadap masyarakat Papua”katanya.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sepanjang Agustus 2016 hingga Agustus 2017 saja, angka kekerasan yang terjadi sebagai dampak penggunaan pendekatan keamanan di Papua mencapai 16 peristiwa.

Studi yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan bahwa ada 4 (empat) akar masalah di Papua. Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia.

Dalam hal ini, masyarakat Papua masih belum merasa bahwa proses integrasi ke dalam Indonesia itu benar.

Kedua, masalah operasi militer yang terjadi karena konflik tersebut di atas yang tak terselesaikan.

Kondisi ini membuat masyarakat Papua semakin merasa dilukai oleh Indonesia.

Luka kolektif ini terpendam lama dan selalu mereka ceritakan kepada generasi-generasi baru yang lahir dan memunculkan fenomena gerakan generasi muda Papua yang lebih radikal.

Ketiga, masyarakat Papua distigma dan termarjinalisasikan di tanah kelahirannya sendiri dengan adanya pembangunan-pembangunan yang tidak melibatkan orang Papua.

Ditambah lagi, mereka mendapati kenyataan bahwa kondisi pendidkan dan kesehatan yang diberikan negara sangat buruk.

Masyarakat Papua terdiskriminasi secara struktural oleh proses modernisasi.

Mereka akhirnya merasa tersingkirkan. Keempat, pembangunan sarana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat di Papua dianggap gagal, sehingga negara tidak dirasakan hadir di tanah Papua.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang muncul di Papua dan berpotensi menimbulkan konflik harus sesegera mungkin diselesaikan.

Tidak hanya menunggu konflik terjadi dan menyelesaikannya dengan tindakan represif.

Mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan masalah-masalah di Papua tentu saja membutuhkan kerja keras dan kerja sama berbagai pihak juga komitmen jangka panjang.

“INZIP didirikan sebagai lembaga yang memfasilitasi terjalinnya kerja sama antara Indonesia dengan Selandia Baru dalam memetakan dan mendorong menyelesaikan permasalahan-permasalahan di Papua. kami INZIP juga berusaha untuk menjembatani antara ranah akademis dengan ranah praktisi. Hal ini menjadi dasar pijakan INZIP dalam segala kegiatannya”katanya.

Di lokasi sama, Ketua Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia (GMPI) Habelino Sawaki menambahkan konflik penyanderaan warga sipil Papua oleh massa gerakan kelompok kriminal bersenjata sudah tidak dapat diselesaikan secara militer, namun dapat diselesaikan hanya dengan cara pendekatan.

Yang dibutuhkan saat ini dalam menyelesaikan permasalahan di Tembaga Pura Papua terkait penyanderaan warga sipil ini hanyalah dengan cara pendekatan.

“Selama 50 tahun militer Indonesia untuk menghentikan gerakan sipil bersenjata sudah tidak ada pengaruh. Jalan satu-satunya menyelesaikan konflik adalah pendekatan berdialog persuasif”katanya.

“Kasus ini perlu ditangani secara arif dan bijak. Tidak ada penyanderaan namun hanya dilarang meninggalkan kampung. Selain itu tidak hanya warga Papua asli saaja, namun ada warga pendatang yang diamankan juga,”katanya.

Habelino menambahkan untuk saat ini yang paling dibutuhkan adalah penyelesaian masalah dengan hati jernih dan dialog bersama.