Kemenangan Oposisi di Malaysia dan Pelajaran untuk Indonesia

Oleh: Sapto Waluyo  (Pendiri Hisbah Centre for Reform)

Kepala Polisi Diraja Malaysia sungguh tak menyangka tokoh yang harus diahentikan ceramahnya itu akan menjadi orang nomor satu di Malaysia. Mahathir Mohammad terpaksa mengakhiri pidato politiknya karena dilarang aparat. Ribuan massa yang hadir marah dan hampir saja melabrak polisi, tapi bisa ditenangkan. Video pelarangan pidato Mahathir itu menjadi viral menjelang pemilihan umum di Malaysia (9/5/2018). Tapi, PM Najib Razak menganggap enteng karena telah menguasai media arus utama (koran, televisi dan radio nasional).

Pidato Mahathir memang mengkritik habispemerintahan Najib yang disebutnya pencuri dan pengghasab (perampok) uang rakyat. Mahathir membongkar salah satu strategi licik Najib membentuk Trengganu Investment Authority (TIA) untuk mengelola cadangan minyak di Negara Bagian yang dikuasai Partai Islam Se-Malaysia (PAS) itu. Ternyata, menurut Mahathir, TIA dimanfaatkan Najib untuk menggadaikan cadangan minyak Trengganu sebagai jaminan bagi pinjaman luar negeri senilai RM 5 miliar (Rp 10,5 triliun). Parlemen tidak diberitahu, apalagi rakyat Trengganu, akhirnya Sultan Trengganu menolak proposal curang itu.

Video itu sebenarnya adalah rekaman dokumentasi tiga tahun lalu (5/6/2015), yakni dialog tentang 1MDB (1 Malaysia Development Berhad) di Putra World Trade Centre. PM Najib semestinya hadir karena acara bertajuk “Nothing2Hide – Dialogue with the PM” merupakan forum untuk membantah tuduhan miring. Tapi, Najib ghaib, akhirnya Mahathir tampil. Baru 10 menit bicara di atas podium, Mahathir segera dihentikan polisi diraja. Potongan video itu memperlihatkan perseteruan Najib dengan mentornya sendiri Mahathir telah berlangsung lama, hingga akhirnya Mahathir dipecat dari UMNO dan mendirikan Partai Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM).

Beberapa hari sebelum pilihan raya, Mahathir mengungkap bahwa pesawat jet pribadinya telah disabotase di bandar udara Kuala Lumpur, ketika hendak bertolak ke Pulau Langkawi (28/4/2018). Waktu itu, Mahathir akan mendaftarkan diri sebagai calon anggota parlemen daerah pemilihan Langkawi di Negara Bagian Kedah, menggunakan tiket Partai Keadilan Rakyat (PKR) sebagai hasil kesepakatan sejumlah partai dalam Pakatan Harapan (Alliance of Hope). Pengawas bandara KL heran, mengapa tetiba roda pesawat jet Mahathir di bagian depan pecah. Andai Mahathir berangkat dengan pesawat naas itu, maka kemungkinan terjadi insiden besar dan pemilihan raya di Malaysia tak akan berjalan sebagaimana mestinya.

Tetapi takdir Allah swt menentukan lain, Mahathir bisa mendaftarkan diri sebagai calon anggota parlemen tertua dalam sejarah dunia (92 tahun) dan akhirnya memenangkan kursi parlemen dengan meraih 18.954 suara rakyat. Lawan kuat Mahathir adalah Nawawi Ahmad dari Barisan Nasional memperoleh 10.061 suara dan Zubir Ahmad (PAS) meraih 5.512 suara. Total pemilih di distrik Langkawi (P004) adalah 42.697 orang, sementara yang memberikan suara hanya 35.131 pemilih dan suara rusak 604. Dibandingkan dengan sistem pemilu dan jumlah pemilih di Indonesia, pilihan raya Malaysia yang diikuti 14,9 juta memang lebih sederhana dengan sistem distrik.

Dalam pidato menjelang hari pencoblosan di Langkawi, Mahathir tidak menyampaikan janji-janji manis surgawi. Veteran politik yang berprofesi awal sebagai dokter medis itu justru melontarkan komitmen politik yang mengejutkan, tidak hanya bagi para pendukungnya, melainkan juga bagi rakyat Malaysia.

“Ada lima tindakan yang akan dilakukan Pakatan Harapan dalam 100 hari pertama, jika memenangkan pemilihan raya, yaitu: 1. Menangkap M01 (orang nomor satu di Malaysia atas tuduhan rasuah), 2. Menubuhkan suruhanjaya untuk siasatan diraja atas kasus 1MDB (investigasi atas kasus korupsi 1MDB), 3. Menubuhkan badan bebas (independen) untuk mengembalikan aset dan uang rakyat yang dicuri, 4. Menjadikan SPRM (Badan Pencegah Rasuah Malaysia) sebagai badan bebas yang melapor langsung ke Parlemen, dan 5. Menghapuskan direct negotiation (perundingan dan penunjukan langsung untuk semua proyek pemerintah),” demikian inti pidato Mahathir yang disambut gempita teriakan pendukungnya. Pidato itu ditayangkan di laman Facebook pribadi Mahathir dan telah disaksi/sebarkan oleh sedikitnya 10 juta netizen.

Isu antikorupsi itulah yang membakar kemarahan dan semangat rakyat Malaysia untuk melakukan perubahan hingga akhirnya menumbangkan kekuasaan Barisan Nasional yang telah bertahan selama 61 tahun. Mahathir sendiri mengakui di masa pemerintahannya dulu (1981-2003) juga terjadi korupsi, tapi tidak sevulgar dan semassif saat ini, sehingga membuat dia malu sebagai warga dan tokoh pemimpin Malaysia.

Salah satu kasus paling merusak kredibilitas Najib adalah 1MDB, proyek bisnis yang dibentuk pemerintah untuk mengelola dana dari cadangan devisa negara yang telah dipisahkan dan menarik investasi asing demi menggenjot pembangunan infrastruktur di Malaysia. Najib berkongsi dengan Jho Low alias Low Taek Jho, pengusaha keturunan Chinese yang mengelola Jynwel Capital, untuk mengumpulkan dan memutar dana dalam jumlah besar. Departemen Kehakiman Amerika Serikat menemukan fakta dana sebesar USD 3,5 miliar diselewengkan dari rekening 1MDB dan sekurangnya USD 700 juta (setara Rp 9,8 triliun) masuk ke rekening pribadi Najib. Sudah tentu Najib membantah temuan itu dan menyatakan bahwa ia mendapat hadiah dari Kerajaan Arab Saudi, tapi tak seorang mempercayainya.

Dana illegal 1MDB mengalir ke mana-mana. Bintang Hollywood Leonardo DiCaprio ditengarai kecipratan dana haram 1MDB melalui badan amalnya (Malaysia Kini, 26/8/2016). Pemerintah Singapura menyita properti bernilai USD 240 juta yang terkait dengan 1MDB (Wall Street Journal, 20/7/2016). Kepolisian Indonesia bekerjasama dengan Biro Investigasi Federal AS (FBI) telah menangkap kapal pesiar mewah milik Jho Low di Teluk Benoa, Bali dan menyita aset senilai Rp 3,5 triliun dari hasil pencucian uang (Liputan 6 SCTV, 28 Februari 2018).

Ketika BPR Malaysia berusaha mengusut kasus itu,mereka mendapat tekanan politik. Pada Juli 2015, Jaksa Agung Malaysia kala itu, Abdul Gani Patail, mengaitkan sumbangan sebesar USD 681 juta (hampir Rp 10 triliun) yang diterima Najib melalui rekening pribadinya dengan perusahaan dan lembaga yang berkaitan dengan 1MDB. Secara mendadak, Patail diganti dengan alasan sakit dan setelah penyelidikan baru dilakukan, Jaksa Agungbaru Mohamed Apandi Ali mengumumkan bahwa uang USD 681 juta di rekening Najib adalah “sumbangan pribadi” dari keluarga kerajaan di Arab Saudi yang ditransfer sekitar akhir Maret dan awal April 2013. Kasus 1MDB sepertinya sukses dipetieskan dan Najib akan selamat dengan kemenangan pemilu.

Masyarakat sipil Malaysia pantang menyerah, tatkala partai politik dan lembaga negara mengalami kemacetan untuk membongkar skandal megakorupsi 1MDB, para aktivis maju ke depan, seperti Mohamad Ezam Mohd. Nor yang menggencarkan hestek #wajibTolakNajib di berbagai platform media sosial. Setahun lalu, Ezam selaku Pengurus lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan masalah korupsi (Hisbah Center for Reform) mengajukan gugatan ke Mahkamah Malaysia, agar kasus 1MDB segera dituntaskan peradilan pidananya. Alasan utamanya, karena Departemen Kehakiman AS dan Kejaksaan Singapura telah menemukan penyelewengan (fraud) penggunaan dana 1MDB dan Chief Executive 1MDB (Syahrul Azra) telah dinyatakan bersalah. Bila kasus 1MDB dihentikan kasus pidananya dan hanya diakui sebagai penyimpangan korporasi, maka berarti telah menciderai kepentingan rakyat Malaysia.

Gugatan Ezam dinyatakan gugur dengan sebab formal, bahwa penggugat tidak memiliki legal standing dan tidak mewakili pemegang saham korporasi. Meskipun secara substansial 1MDB terbukti telah merugikan kepentingan rakyat karena utang perusahaan akan membebani negara dan hanya menguntungkan segelintir elite. Ezam menyatakan tim pengacara akan menempuh langkah berikutnya, sementara dia akan berkampanye kepada rakyat: “Karena rakyat adalah hakim yang sebenarnya.” Keyakinan Ezam itu berdasarkan pengalamannya sebagai aktivis sejak mahasiswa dan pernah menjadi sekretaris pribadi Anwar Ibrahim saat pertama kali mendirikan PKR.Hisbah Centre for Reform adalah organisasi nonpemerintah hasil kolaborasi aktivis Malaysia dan Indonesia, karena kedua negara menghadapi problema korupsi serupa.

Jauh sebelum mendirikan Hisbah, para aktivis lintas negara telah membangun gerakan antikorupsi melalui pelatihan, diskusi publik dan penyebaran informasi. Aktivis Malaysia mengakui belajar banyak dari pengalaman aktivis Indonesia, terutama saat memobilisasi gerakan reformasi 1998. Karena itu, Anwar Ibrahim (saat masih menjabat Wakil PM) mengundang Amien Rais yang dijuluki “Tokoh Reformasi Indonesia” untuk bertukar wawasan. Penulis sempat mewawancarai Anwar di rumah kediamannya, beberapa jam sebelum ditangkap pasukan khusus Polisi Diraja Malaysia (September 1999). Spirit reformasi terus digelorakan dalam gerakan “Bersih” (koalisi masyarakat sipil untuk menuntut pemilu yang bersih dan adil), yang terjadi dalam lima gelombang sejak 2007 hingga 2016. Pidato Anwar yang berapi-api, sebagaimana pidato Mahathir yang kritis, diviralkan kembali menjelang pilihan raya 2018 lalu.

Semangat antikorupsi memacu rakyat Malaysia untuk melakukan perubahan melalui bilik suara. Disamping itu, kondisi ekonomi semakin sulit karena pemerintahan Najib baru saja menaikkan pajak komoditas (GST) sebesar 6 persen. Rakyat Malaysia terbiasa hidup nyaman, mulai merasakan tekanan ekonomi makin menghimpit karena beban defisit anggaran negara semakin besar dan rasio utang terhadap PDB juga melonjak (53,2 persen). Isu ekonomi semakin panas dengan menguatnya dominasi modal asing hingga Proton sebagai perusahaan mobil nasional pun lepas ke pemodal asing dan sejumlah distrik bisnis eksklusif dikendalikan penuh investor dari Republik Rakyat China. Malaysia memang dikenal sebagai negara multiras, dimana kaum Melayu hidup berdampingan dengan damai bersama warga keturunan Chinese dan India. Namun, dominasi ekonomi satu kelompok yang berkaitan dengan modal asing telah menumbuhkan kecemburuan sosial. Semuanya menggumpal jadi suara perlawanan (protest vote).

Apakah pelajaran yang bisa dipetik rakyat Indonesia dari pengalaman pemilu di Malaysia yang membawa perubahan besar? Sebagai mantan jurnalis dan aktivis yang mengikutii dinamika sosial-politik kedua negara dari dekat, penulis mencatat tiga hal penting:

Pertama, pemerintahan di manapun harus serius menjalankan amanat publik, termasuk memenuhi janji-janji politik. Tidak bisa lagi berpandangan meremehkan bahwa rakyat mudah pelupa; jika diberikan bantuan sosial atau kebijakan populis lain, akan berubah simpati. Rakyat menuntut perubahan fundamental dalam pelayanan publik dasar, seperti kesehatan, pendidikan, penyediaan lapangan kerja, transportasi publik terjangkau dan perumahan layak. Pemerintahan Joko Widodo tidak usah panik, bila mampu menjalankan program prioritas nasional (Nawa Cita) secara konsisten, termasuk dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Partai-partai pendukung pemerintah juga tidak perlu kehilangan akal sehat dan bersikap arogan, karena dari sisi pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang dibanggakan saja banyak target meleset, hingga Program Strategis Nasional pun dikoreksi sendiri.

Sebagai contoh evaluasi, pengamat Burhanuddin Muhtadi (Bulletin of Indonesian Economic Studies, 2015) pernah mencatat dalam satu tahun kelemahan pemerintahan Jokowi (weak President) terjebak antara tuntutan reformasi dan oligarki politik. Catatan lebih miris diungkapkan Eve Warburton (BIES, 2016) pada tahun kedua pemerintahannya, Jokowi telah mengembangkan “new developmentalism” (Soeharto gaya baru) yang lebih menekankan pembangunan infrastruktur dan mengesampingkan pemberantsan korupsi dan perlindungan HAM. Secara khusus, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz menilai sektor hukum terpinggirksn dalam rezim Jokowi (Kompas, 23/2/2018). Donald memberi contoh pembiaran terhadap revisi UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang justru menekan sikap kritis rakyat dan melindungi kejahatan elite politisi (impunitas), serta posisi Jaksa Agung yang berasal dari partai politik tak pernah dikoreksi. Bila kondisi itu terus memburuk, maka tuntutan perubahanotomatis membesar.

Kedua, kekuatan oposisi harus fokus dengan tujuan jangka panjang, jangan hanya bernegosiasi dengan target jangka pendek. Misalnya, mengganti rezim pemerintahan, padahal platform kebijakan dan sikap politiknya tidak jauh berbeda. Semua parpol saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan, sehingga bermanuver memunculkan tokoh baru, padahal diam-diam membangun dinasti politik lama. Rekonsiliasi yang dilakukan Mahathir dan Anwar Ibrahim mencontohkan kebesaran jiwa, seraya membuka jalan bagi kepemimpinan generasi baru. Dalam gerbong Pakatan Harapan terlihat figur yang bebas dari pengaruh rezim lama. Gerakan sosial #2019GantiPresiden (yang dinyatakan Ezam menginspirasi gerakan #wajibTolakNajib) harus berkembang menjadi aliansi nasional yang memiliki visi perubahan total dan merangkul beragam lapisan masyarakat.

Terakhir, masyarakat sipil perlu memperkuat keyakinan bahwa kontrol publik (hisbah) diperlukan, agar proses politik dan ekonomi berjalan sesuai dengan mandat rakyat dan demi mencapai kesejahteraan rakyat. Elite politisi yang melanggar janji kampanye dan kontrak politik harus dihukum lewat pemilu dan pemilihan kepala daerah, jangan dipilih lagi. Elite ekonomi yang ingin membeli kekuasaan politik atau memonopoli sumberdaya publik, harus dilawan dengan memutus rantai produksi dan distribusi, seraya membangun ekonomi swadaya. Masyarakat sipil di Indonesia selalu menemukan energi baru, semisal gerakan mahasiswa dengan kartu kuning yang mengejutkan, atau gerakan sosial 212 yang fenomenal membawa perubahan fundamental di Provinsi DKI Jakarta hingga tampilnya Gubernur Anies Baswedan dan Wagub Sandiaga Shalahuddin Uno.

Kemenangan oposisi dalam pemilu Malaysia bukan sekadar peristiwa politik yang menginspirasi, melainkan lensa penuntun bagi aktivis yang menempuh garis politik jalan lurus