Gesekan Angkot dan Ojek Online, Ini Kata Pakar Transportasi

DepokNews — Permsoalan transportasi online dan konvensioanl nampaknya masih akan berlanjut, meski diterbitkan revisi Permenhub No 32 tahun 2016. Angkutan umum merupakan salah satu moda transportasi yang digunakan masyarakat secara bersama-sama dengan membayar tarif.

Pengaturan angkutan umum memang tidak mudah. Pasalnya di lapangan banyak angkutan umum yang berhenti di sembarang tempat, seperti taksi dan angkot, angkutan umum paratransit. Adapula yang berhenti di halte yg sdh ditentukan seperti BST (bus sistem transit) dan BRT (bus rapid transit).

Pakar transportasi Djoko Setijowarno menuturkan, pemda pasti kesulitan menetapkan kuota traksi online. Apalagi ditambah ojek online yang tidak diatur dalam Permenhub. “Online hanya sistem dan bukan segalanya, sehingga operator sistem online bukan seenaknya mau mengatur semuanya. Hanya berasumsi seolah untuk memenuhi transportasi yang murah kebutuhan warga,” katanya, Ahad (26/3/2017).

Namun kata dia murah bukan berarti harus mengabaikan keselamatan. Ada baiknya operator online bekerja sama dengan pengusaha angkot di daerah agar angkot juga dapat memanfaatkan sistem online yang mereka miliki. Mengacu pada UU No 22 tahun 2009, sepeda motor tidak termasuk kategori transportasi umum. Tapi sepeda motor tidak dilarang membawa penumpang. Bedanya, boleh membawa penumpang tapi tidak dikenakan tarif.

“Karena tarif sudah masuk ranah bisnis, ada hitungan tarif batas atas dan bawah aspek keselamatan, keamanan dan kenyamanan jika dilegalkan. Dan dimungkinkan dapat subsidi jika diperlukan sebagai angkutan umum perkotaan,” ungkapnya.

Meski di beberapa daerah juga sudah muncul ojek pangkalan sebagai jawaban akan kebutuhan ketersediaan transportasi umum yang masih kurang menjangkau akses kawasan pemukiman. Menurutnya, Kapolri harus berani berikan pernyataan, jika sepeda motor bukan sarana transportasi umum berdasar UU No 22 tahun 2009 tentang LLAJ.

“Apalagi menyangkut keselamatan, keamanan dan kenyamanan. Tujuannya untuk memberi kepastian pada warga dan operator online,” tukasnya.

Jika tidak, sambung dia yang susah juga Kepolisian sendiri karena harus mengamankan setiap terjadi demo atau bentrokan horizontal warga. Data Korlantas di pusat maupun daerah menyebutkan angka kecelakaan tertinggi, korban tertinggi, pelanggaran tertinggi adalah dari sepeda motor yang rata-rata kisaran 70-80%.

“Pemda pun tidak harus membedakan transportasi resmi dan transportasi online, tidak mudah dan banyak kendala,” katanya.

Jika pemda merasa ragu, lebih baik diminta perusahaan online bergabung dengan perusahaan taksi resmi. Itupun tidak bisa dipaksakan jika taksi resmi sudah memiliki sistem online sendiri.

“Yang perlu dilakukan sekarang adalah pemda konsentrasi membenahi transportasi umum di daerah,” pungkasnya.(mia)