Generasi Milenial Dalam Pusaran Pilkada Kota Depok 2020

Oleh: Jumari Kiswah, M.Sos. (Peneliti Centeri for Indonesian Reform, CIR)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah dilaksanakan serentak pada tanggal 9 Desember 2020. Meskipun terjadi pro dan kontra terkait adanya pandemi Covid-19, namun agenda politik itu tetap dilaksanakan. Menurut data yang disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum, ada 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada, dengan perincian 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Momen pilkada tersebut akan diikuti sebanyak 715 pasangan calon. Dengan rincian, 24 pasang merupakan calon gubernur dan wakil gubernur, serta 691 pasangan adalah calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota.

Kota Depok adalah salah satu yang melaksanakan Pilkada serentak. Ada dua pasang calon yang akan bertarung untuk menjadi orang nomor satu dan dua di Kota Depok, yaitu pasangan nomor urut 1, Pradi Supriatna dan Afifah Alia (Pradi-Afifah) dan pasangan nomor urut 2, Mohammad Idris dan Imam Budi Hartono (Idris-Imam). Keduanya boleh dibilang adalah petahana. Idris saat ini menjabat sebagai walikota dan Pradi merupakan wakil walikota yang kemudian pecah kongsi.

Untuk mengukur bagaimana persepsi warga Kota Depok menjelang pelaksanaan Pilkada, CIR (Center for Indonesian Reform) bekerjasama dengan Komunitas Sahabat Depok serta Viral Consulting, pada tanggal 1-3 Desember 2020 telah melakukan survei persepsi publik. Tujuan survei meliputi tiga hal: Pertama, mengetahui kesiapan warga Kota Depok dalam menyambut pesta demokrasi (Pilkada). Kedua, mengukur tingkat partisipasi warga Kota Depok dalam pelaksanaan Pilkada di masa pandemi Covid-19, dan Ketiga, mengukur kecenderungan pilihan politik warga Kota Depok beserta alasannya.

Warga yang menjadi target responden survei ini adalah mereka yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Kota Depok tahun 2020. Metode penentuan jumlah responden menggunakan Krejcie-Morgan dengan margin of error 3.097% dan tingkat kepercayaan mencapai 95%. Dari 1.000 sampel yang tersedia diperoleh secara acak sebanyak 793 responden melalui two stage systematic proportional to size sampling. Response rate dalam pelaksanaan survei ini sebesar 92.6%.

Dengan mengerahkan 50 surveyor lapagan, diperoleh hasil bahwa pasangan Pradi-Afifah mendapat dukungan 22% suara dan pasangan Idris-Imam memperoleh dukungan 34% suara. Yang menarik dari hasil survei ini adalah masih ada sekitar 25% responden yang belum menentukan pilihan dan 19% merahasiakan pilihannya. Masing-masing calon sebenarnya punya potensi untuk menang dan peluang di antara keduanya masih sama-sama besar (34%). Namun, hasil quick count sementara menunjukkan keunggulan pasangan Idris-Imam (56%) dibanding Pradi-Afifah (44%). Hasil itu sejalan dengan survei CIR, dengan selisih suara antar kandidat sekitar 12%.

Survei CIR memperlihatkan dimensi kelompok umur responden, dimana lebih dari 80% pemilih adalah mereka yang berumur di bawah 50 tahun, sedangkan sisanya adalah mereka yang berumur di atas 55 tahun (20%). Dengan perincian, umur 17-24 tahun sebanyak 15%, umur 25-35 tahun sebanyak 25%, umur 36-44 tahun sebanyak 20% dan 45-54 tahun sebanyak 22%. Hal ini menunjukan bahwa bonus demografi, bertambahnya jumlah penduduk usia produktif secara signifikan telah terjadi. Meningkatnya penduduk usia produktif pada era ini didominasi oleh generasi Y atau biasa disebut generasi Milenial.

Sebutan generasi milenial saat ini makin akrab di telinga kita. Kalau kita telisik lebih jauh, istilah milenial pertama kali dicetuskan oleh William Strauss dan Neil dalam bukunya yang berjudul Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Mereka menciptakan istilah itu tahun 1987, yaitu pada saat anak-anak yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah. Sementara itu, jika didasarkan pada Generation Theory yang dicetuskan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rasio tahun 1980 sampai dengan 2000 (BPS, 2018).

Beberapa karakteristik generasi milenial di antaranya menginginkan kebebasan dalam bertindak mulai dari memilih sampai dengan kebebasan untuk berekspresi, sangat senang melakukan kustomisasi dan personalisasi. Hadirnya generasi milenial ini jelas akan memberikan warna baru bagi perpolitikan kita ke depan. Seperti yang tercermin dalam survei CIR.

Dalam survei tersebut ketika responden ditanya: siapakah paslon yang akan Anda pilih dalam pilkada nanti? Yang menjawab rahasia sebesar 19%, sedangkan yang belum menentukan sebesar 25%. Sehingga, kalau kita jumlahkan ada kurang lebih 34% responden yang belum diketahui pilihan dalam pilkada Kota Depok. Menurut penulis, generasi milenial menginginkan adanya kebebasan dalam memilih calon kepala daerah. Oleh karena itu, dengan mayoritas pemilih adalah generasi milenial, sudah sewajarnya kalau para calon lebih fokus melakukan pendekatan-pendekatan yang familiar, sesuai dengan ciri dan karakteristik generasi milenial tersebut.

Bila ditelusuri lebih jauh, responden yang belum menentukan pilihan (25,22%) terdiri dari kelompok umur: 17-24 tahun (5,80%), 25-35 tahun (5,80%), 36-44 tahun (4,41%), 45-54 tahun (4,92%), 55-64 tahun (2,27%), di atas 65 tahun (2,02%). Generasi millennial (17-35 tahun) cukup banyak yang belum menentukan pilihan (11,60%) dan baru menetapkan pilihan di hari-hari terakhir. Mereka mungkin juga tidak memilih (Golput), bila kekecewaan politik terlalu dalam terhadap kondisi yang mapan. Sebagian di antara millennial mungkin juga apolitis, tidak peduli dengan urusan politik, dan lebih fokus dengan urusan hobi atau karir/pekerjaannya.

Pemilih paslon 01 sebesar 22,07% menurut kelompok umur terdiri dari: 17-24 tahun (2,52%), 25-35 tahun (6,18%), 36-44 tahun (5,80%), 45-54 tahun (4,29%), 55-64 tahun (2,90%) dan di atas 65 tahun (0,38%). Bila dibandingkan pemilih millennial (17-35 tahun) untuk paslon 01 sebesar 8,70% lebih rendah dibandingkan kelompok mapan/baby boomers (36-54 tahun) yakni mencapai 10,09%.

Sementara itu, Pemilih paslon 02 sebesar 34.17% menurut kelompok umur: 17-24 tahun (3,91%), 25-35 tahun (8,07%), 36-44 tahun (6,94%), 45-54 tahun (9,21%), 55-64 tahun (4,29%), dan 65 tahun ke atas (1,77%). Kelompok pemilih 02 dari kalangan millennial lebih besar (11,98%), walau tetap lebih rendah dibanding kelompok dewasa mapan (16,15%). Paslon 02 tampaknya lebih menarik bagi kaum millennial karena tampilnya figur Imam Budi Hartono selaku anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dan dikenal sebagai seorang Alumni Universitas Indonesia yang aktif dalam kegiatan kawula muda. Figur Pradi Supriatna yang asih tergolong relatif muda terbukti tidak menolong.

Sebagian besar pemilih tertarik dengan program kerja (janji kampanye) yang dilontarkan paslon. Program apakah yang menarik bagi kaum millennial? Idris-Imam mengkampanyekan 10 program unggulan yang akan dilaksanakan bila menang Pilkada, beberapa di antaranya terkait dengan kepentingan kaum millennial. Mencetak 5.000 pengusaha (start-up) baru dan 1.000 perempuan pengusaha, ini menjadi peluang besar bagi millennial yang berpotensi di bidang bisnis. Kemudian membangun pusat olahraga dan pameran produk UMKM, menjadi tempat millennial untuk menyalurkan hobi dan energinya. Sebenarnya, program penyaluran dana sebesar Rp 5 miliar untuk tiap kelurahan merupakan kesempatan emas karena dapat digunakan untuk pembinaan Karang Taruna dan pemberdayaan kaum muda di tingkat kelurahan. Pembangunan alun-alun dan taman hutan kota di wilayah barat akan melengkapi sarana yang telah tersedia saat ini, dimana kaum muda bisa berinteraksi dengan beragam kelompok masyarakat dalam suasana gembira. Termasuk pemanfaatan WiFi gratis di beberapa lokasi publik yang ramai dikunjungi warga, tak hanya dimanfaatkan untuk kegiatan belajar, melainkan juga mendorong kreativitas dan produktivitas warga, khususnya kaum millennial.

Sedangkan Pradi-Afifah menawarkan program yang mirip dengan Idris-Imam, tak ada hal yang unik. Hanya volume anggaran atau targetnya dinaikkan, seperti alokasi bantuan hingga Rp 500 juta untuk pembangunan di setiap RW dan mencetak 10.000 pengusaha baru. Ada program yang secara khusus menyasar pelajar berupa insentif siswa berprestasi dan siswa dari keluarga ekonomi tidak mampu. Program lain yang menonjol di bidang kesehatan (gratis dengan KTP), pelayanan administrasi publik, transportasi dan pasar sehat dan modern tiap kecamatan.

Jatuhnya pilihan warga Depok, termasuk kaum millennial, kepada pasangan Idris-Imam merupakan kesempatan untuk membangun kota Depok dengan perspektif baru. Kota pendidikan dengan potensi ekonomi kreatif semacam Silicon Valley atau Bangalore City, tentu saja berkolaborasi dengan perguruan tinggi (Universitas Indonesia dan Universitas Gunadarma serta kampus lainnya). Pembinaan sumberdaya manusia merupakan kunci utama, dan peningkatan keterampilan serta kepribadian kaum muda-milennial menjadi tantangan tersendiri.

Kaum muda-milennial Depok jangan pasif atau menunggu takdir, saatnya kita berperan dengan potensi dan kompetensi masing-masing. Tidak lupa berkolaborasi mewujudkan mimpi bersama: Depok Maju, Sejahtera dan Berbudaya. []