Etika Bisnis dan Masa Depan Peradaban Ekonomi


Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.k*

Satu kali Amirul Mukminin Umar bin Khattab melakukan sidak ke tempat pengembalaan hewan ternak. Setelah bertanya kepada petugas penjaga ladang tersebut mengenai kondisi hewan-hewan ternak yang digembalakan, Umar bin Khattab melihat ke salah kawanan unta yang berbeda dengan unta lainnya. Lalu Umar bin Khattab bertanya kepada penjaga ladang tersebut, “milik siapa unta-unta tersebut?”, “Milik Abdullah putramu wahai Amirul Mukminin”, jawab penjaga ladang. “Panggil ia untuk bertemu denganku”, perintah Umar bin Khattab. Ketika Abdullah bin Umar telah sampai, lalu ia bertanya kepada ayahnya,” ada apa gerangan wahai Amirul Mukminin memanggilku?”. “Milik siapa Unta tersebut wahai Abdullah?”, Tanya Umar. “Milikku wahai Amirul Mukminin”, jawab Abdullah. “Mengapa unta milikmu berbeda dengan unta yang lain?untamu lebih gemuk dan besar sementara yang lain lebih kurus padahal semua unta digembalakan di ladang yang sama?” Tanya Umar bin Khattab. Lalu Abdullah menjawab “aku tidak tahu wahai Amirul Mukminin”. “Ini pasti dikarenakan engkau adalah anak dari Amirul Mukminin, sehingga untamu diberikan makan lebih banyak dibandingkan unta milik orang lain. Padahal ladang ini adalah milik umum dan siapa saja boleh mengembalakan untanya di tempat ini. Sekarang jual untamu, ambil modalnya, dan berikan keuntungannya ke Baitul Mal”.

Kisah singkat di atas menggambarkan bahwa Umar bin Khattab adalah sosok dengan integritas melangit. Dia akan menegakkan etika atau norma kepada siapapun tanpa pandang bulu. Bahkan dia akan menghukum lebih berat jika pelanggaran dilakukan oleh keluarga atau orang terdekatnya. Dalam konteks kisah tersebut bisa kita pahami ada nilai ekonomi dari proses pengembalaan hewan ternak putranya yang bernama Abdullah bin Umar. Hewan ternak yang digembalakan dengan baik akan berdampak pada kesehatan dan pertumbuhan yang baik terhadap hewan tersebut. Tentu linier dengan hal tersebut akan berdampak pula terhadap nilai jual yang meningkat. Namun Umar bin Khattab memilih untuk memotong potensi sikap ketidakadilan terhadap proses ekonomi. Ketidakadilan terhadap proses produksi yang bahan bakunya tidak terdistribusi ke seluruh hewan ternak. Umar bin Khattab seolah ingin berpesan bahwa tumbuhan yang ada di ladang tersebut haruslah terdistribusi secara adil ke seluruh hewan ternak. Tidak boleh ada hewan ternak diberikan lebih banyak disebabkan oleh salah satu pemilik hewannya adalah elit/penguasa negara.

Etika Bisnis
Jika dikaitkan dengan proses produksi, maka mengembalakan hewan ternak menjadi bagian darinya. Bagaimana proses produksi daging yang dimiliki hewan ternak tersebut dari proses konsumsi dalam bentuk tumbuh-tumbuhan yang ada di tempat penggembalaan ternak. Namun menurut Umar bin Khattab proses produksi dari bahan baku (tumbuhan) haruslah berlaku secara adil. Dalam etika ada teori yang disebut dengan Utilitarianisme. Dimana dalam teori tersebut menyatakan bahwa manfaat tidak diperkenankan dirasakan hanya oleh individu atau kelompok saja, namun manfaat harus dirasakan oleh semua golongan. Jika dikaitkan dengan Islam maka kita mengenalnya dengan Maslahah walau tidak sepadan karena Maslahah cakupannya lebih luas lagi. Pada kisah di atas menunjukkan seolah Umar bin Khattab ingin berpesan agar apa yang menjadi milik umum, maka tidak boleh ada yang memonopoli atau menerima manfaat berlebihan dan merugikan pihak lainnya.

Bisnis/ekonomi adalah merupakan aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi. Keseluruhan aktivitas tersebut haruslah berdasarkan norma atau etika. Bagaimana cara produksi, apakah menguntungkan satu pihak atau merugikan lainnya. Rugi bukan terhadap manusia saja, namun rugi terhadap dampak lingkungan atau makhluk hidup lainnya. Terkait distribusi, apakah seluruh manusia terdistribusi dengan baik kebutuhannya. Dalam hal konsumsi, apakah kebutuhan yang diinginkan merupakan kebutuhan yang memang benar-benar dibutuhkan atau kebutuhan yang dilebih-lebihkan sehingga melahirkan ketamakan atau keserakahan.

Jika dikaitkan dengan ekonomi Islam, maka ekonomi yang dimaksud adalah ekonomi yang digerakkan berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma etis yang bersumber dari Islam. Pijakan ekonomi Islam adalah Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak. Tujuan dalam kegiatan ekonomi haruslah berorientasi pada kemaslahatan untuk semua umat Islam atau bahkan manusia pada umumnya. Karena hal tersebut merupakan kebaikan, maka perilaku yang baik adalah kewajiban tanpa harus memandang dampak atas perilaku tersebut. Sejalan dengan hal tersebut maka kita mengenal teori etika yang disebut dengan Deantologis. Dalam kaidah Ushul diketahui bahwa hukum asal dari perintah adalah wajib. Segala yang diperintakan oleh agama bernilai kebaikan. Maka melakukan kebaikan adalah sebuah kewajiban. Hal tersebut menjadi linier dengan teori etika lainnya yaitu Teori Hak dan Kewajiban. Namun beberapa hal berbeda dengan teori Teleologi yang terdiri dari Egoisme, Altruisme atau Teori Keutamaan.

Bisnis harus bernilai kemuliaan dunia dan akhirat. Islam menyebutnya dengan al-Falah. Maslahah atau manfaat yang diperoleh dari bisnis haruslah berdampak kepada dua dimensi, yaitu dimensi dunia dan akhirat. Berbeda dengan konsep atau tujuan dari ekonomi dengan Mazhab Kapitalisme. Pada konsepsi tersebut tujuan ekonomi yaitu Satisfaction atau kepuasan yang mengalami kesulitan dalam mengukurnya. Hal itu disebabkan Karena kepuasan setiap orang berbeda-beda. Bahkan akan lahir kepuasan yang tidak pernah terpuaskan dengan konsep ekonomi “dengan modal yang sedikit-sedikitnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”. Teori ini juga bertentangan dengan teori investasi yaitu “high risk, high return, low risk, low return”. Tidak ada usaha yang keuntungan besar tanpa modal besar. Sedangkan modal besar itu bukan hanya materi yang besar.

Pada sisi yang lain Islam memberikan penegasan dalam hadist Nabi SAW “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat untuk orang”. Hadist tersebut bisa disimpulkan dengan kalimat “hanya mereka yang mau berbagi atau berkorban kebahagiaan, manfaat, dan maslahat disebut manusia yang terbaik”. Terbaik menurut Nabi SAW tentu dijamin kebaikan dunia dan akhiratnya.

Pada era kontemporer, Ulama Muhammadiyah dalam Ijtihad Kolektifnya melalui Majelis Tarjih dan Tajdid telah merumuskan terkait dengan Etika Bisnis dalam rangka merespon dinamika sosial ekonomi kemanusiaan. Bagi Muhammadiyah Etika adalah segala norma yang berpijak atas dasar Aqidah, Syariah, dan Akhlak yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Maqbulah. Etika tersebut berasaskan At-Tauhid (kepemilikan mutlak adalah Allah, Al-Amanah, As-Sidq (Kejujuran), Al-‘Adalah (keadilan), Al-Ibahah (kebolehan), At-Ta’wun (kerjasama), Al-Maslahah (menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), At-Taradhi (saling rela/sepakat), Al-Akhlak Al-Karimah (adab/kesopanan).

Masa Depan Perdaban Ekonomi
Fakta yang tidak terbantahkan bahwa manusia memiliki nilai-nilai kebaikan sama yang bersifat universal. Karena seluruh manusia berasal dari satu manusia yang sama yaitu Adam A.S. Maka ada kewajaran dalam teori dasar tentang ekonomi dengan norma dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki kesamaan. Sebagai contoh Plato dan Aristoteles menolak konsep Bunga dalam transaksi. Layaknya keharaman riba di dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Para pemikir pra Klasik juga menolak berbagai penindasan, kebutuhan yang belebihan, dan keserakahan atau monopoli. Berbeda dengan Adam Smith serta para muridnya yang sudah berhadapan dengan pertumbuhan revolusi industri dengan teori dan konsep dasar kebebasan mutlaknya. Walau hal tersebut bisa dipahami sebagai upaya melahirkan alternatif solusi dalam ekonomi pasca kepemimpinan dalam era kediktatoran.

Kesejahteraan ekonomi bukanlah saja tentang pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi percuma jika yang tumbuh hanyalah para pemilik modal besar sedangkan yang terbatas dalam modal tetap dalam posisinya atau malah semakin terpuruk. Ekonomi yang baik adalah tentang semakin kecilnya kesenjangan antar makhluk sosial. Kesenjangan yang tinggi bisa berakibat pada kecemburuan, kriminalitas, dan merusak stabilitas kehidupan. Jika dalam konteks Indonesia, beberapa data menyebutkan bahwa satu orang terkaya di Indonesia kekayaannya sama dengan 100 juta orang termiskin di Indonesia. Pada informasi lainnya, empat orang terkaya kekayaannya sama dengan 100 juta orang di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan sebuah ketimpangan yang luar biasa. Seolah dari 267 juta Jiwa lebih masyarakat Indonesia, hanya beberapa orang saja yang bisa memperoleh keuntungan dan mengakses sebanyak-banyaknya kekayaan di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan para pihak asing yang mendirikan perusahaannya disertai pengambilan sumberdaya Alam di Tanah Air ini. Belum lagi persoalan persaingan antar negara besar dengan kapital yang sangat kuat dengan etika egoismenya tanpa memandang hak dan nasib negara lain.

Oleh karena itu, Islam sebagai sumber moral dan etika harus dijadikan sebagai pijakan dalam berekonomi. Dengan Etika Bisnis Islam, maka potensi kerusakan atau kemafsadatan bisa diperlambat dan diperbaiki walau membutuhkan waktu yang lama. Dengan etika bisnis Islam sebagai pondasi dalam berekonomi maka akan memudahkan menyukseskan salah fungsi kekhalifahan manusia dalam rangka menghadirkan Rahmatan Lil ‘Alamin dalam bidang bisnis atau ekonomi. Hal tersebut dikarenakan ekonomi sangat erat kaitannya dan tidak bisa dilepaskan antara hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan lingkungannya, dan hubungan manusia dengan Tuhannya.

Peradaban Ekonomi masa depan haruslah dibangun berdasarkan norma yang diciptakan oleh Tuhannya dalam Islam yaitu Allah SWT. Karena Allah SWT yang menciptakan manusia, maka Allah SWT yang paling tau aturan atau norma apa saja yang tepat bagi keberhasilan dan keberlanjutan kehidupan manusia dan alam semesta. Bahkan norma yang terkadung dalam etika bisnis Islam mencakup seluruh kebaikan yang bersifat universal. Tidak terbatas hanya satu agama saja. Tujuan implementasi dari seminar-seminar tentang Sustainable Development Goals atau SDG’s insya Allah akan tercapai jika ketulusan, keterbukaan, dan kesungguhan mengadopsi etika bisnis Islam dalam kegiatan bisnis atau ekonomi. Wallahu a’lam

*Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kota Depok, Alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Alumni Universitas Islam Indonesia, Alumni Universitas Gadjah Mada dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah