Emosi Terpendam

Oleh:  Rifky Ardian Triputra  (Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta)

Rumah adalah tempat terbaik yang pernah saya dapat, begitu hangat, begitu nyaman, dan aman. Tak sedikitpun saya merasa takut berada di sana, keluh kesah selalu terurai dan terselesaikan dengan mudah di rumah.

Sedih mengingat jarak yang memisahkan, setiap orang pasti merasakan hal yang sama saat terpisah. Sulit rasanya berjuang sendiri tanpa keluarga, ya kini saya merasa berjuang sendiri. Belajar jauh dari rumah, saya memutuskan untuk pulang pergi ke kampus dengan menggunakan motor kesayangan saya, dengan jarak sekitar 25 km yang saya tempuh setiap harinya.

Rumah yang selalu hangat, sarapan pagi yang nikmat, senyuman Mama Papa yang menyejukkan, dan pelukkan hangat dari Mama Papa, serta canda tawa dari kedua kakak saya. Saya sangat ingin pulang.

Seperti teringat kembali ucapan Mama, “Jaga diri baik-baik, walaupun kamu anak laki-laki Mama selalu khawatir terhadap anak-anak Mama. Mama senang kamu aktif, kuliah yang rajin ya. Ingat jangan pulang larut malam, Mama takut kamu kenapa-kenapa di jalan. ”

Mengingat perjuangan Papa membanting tulang bekerja siang dan malam, begitupun juga Mama yang menjadi ibu rumah tangga. Apa masih bisa saya menangis dihadapan mereka? Apa masih bisa saya menambah beban mereka? Saya tak mampu, tak ada lagi hal yang lebih pantas yang saya berikan selain prestasi dan senyum yang tergurat lebar di wajahku.

Terkadang saya lalai, saya amat lalai melukai hati mereka, saya membantah, saya membangkang, saya berteriak. Serasa luka hanya saya saja yang genggam, padahal ribuan bahkan jutaan kekecewaan dan luka sudah mereka rasakan hanya demi menyekolahkan saya hingga ke perguruan tinggi.

Mereka tak pernah memaksa, tak pernah memaksa seluruh keputusan yang selalu berada ditangan saya, doa serta dukungan seraya menyertai saya di sini tapi saya belum bisa memberikan apapun, belum bisa membanggakan mereka.

Padahal deras doa dan air mata selalu terucapkan dari sudut bibir lembut penuh ketenangan itu, Papa Mama maafkan saya, saya minta maaf, lelah dan lemah rasanya tanpa kalian di sini.

Saya kuatkan tekad, mendekap hangat dan teduhnya tatapan wajahmu, Mama. Tapi semua itu meyakinkan saya, cukup meyakinkan saya bahwa saya harus berjuang dengan senyuman, harus melompati segala rintangan sepertimu menelan seluruh kepahitan yang pernah kau rasakan dengan doa.