Corona, Islam, dan Etika Bisnis


Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.k*

Media informasi Tempo mengutip dari Nature edisi 3 Februari 2020, Peng Zhou dari Wuhan Istitute of Virology dan tim menyebutkan bahwa “kami telah menemukan urutan genom virus yang dinamai SARS-CoV-2 yang diambil dari empat pasien (positif Covid-19) yang juga seorang pedagang Pasar Grosir Makanan Laut Huanan, Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina identik 96,2 % dengan virus BatCOV RaTG13 yang terdapat pada kelelawar asal Yunnan, Rhinoluphus Affinis”.

Kemudian seorang ilmuan dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Joko Pamungkas mengatakan bahwa “Kelelawar juga merupakan reservoir (penyimpan) virus Nipah, yang pertama kali muncul di Hendra, Australia, pada tahun 1994, dan muncul kembali di Nipah, Malaysia, pada tahun 1998. Dari empat genus virus Corona, yang paling berbahaya bagi manusia adalah betacoronavirus. Ada indikasi kuat betacoronavirus yang ada pada kelelawar menjadi moyang virus yang kemudian menginfeksi manusia”.

Selain itu, Ibnu Maryanto, ahli kelelawar dan tikus dari Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan bahwa “ada 329 spesies kelelawar di Indonesia, termasuk Rhinoluphus Affinis, yang menjadi inang moyang penyebab dari SARS-CoV-2”. Dia juga menambahkan, “bahwa kelelawar jenis ini dengan serangga sebagai makanannya tersebar geografinya di beberapa wilayah seperti di Bhutan, Nepal, Bangladesh, India, Kamboja, Cina, Hong Kong, Laos, Myanmar, Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, hingga Indonesia. Untuk wilayah Indonesia persebarannya ada di daerah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera”.

Dari paparan di atas kita bisa memahami bahwa kelelawar berpotensi menjadi penyebab utama dari sekian potensi penyebab hewan lainnya yang menyebabkan manusia terpapar dari Virus atau Pandemi Covid-19. Beberapa pakar dan lembaga penelitian lainnya juga menyebutkan hal yang sama dengan penelitian-penelitian tersebut di atas tentang penyebab dari virus yang sedang dialami oleh umat manusia di muka bumi ini.

Corona dalam Etika Bisnis
Dalam perspektif bisnis, secara umum kita memahami bahwa bisnis adalah tentang produksi, distribusi, dan konsumsi. Produksi dan distribusi sangat tergantung dengan perilaku konsumsi (kebutuhan akan barang, pangan, atau papan). Sesuatu yang sebelumnya tidak diproduksi dan didistribusi bisa terjadi jika permintaan terjadi. Jumlah produksi dan distribusi akan selalu linier dengan jumlah permintaan. Demikian halnya dengan peningkatan atau penurunan dari produksi dan distribusi tersebut disebabkan pula oleh peningkatan atau penurunan dari konsumen.

Salah satu Nilai dan Tolok ukur Etika Bisnis menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Himpunan Putusan Tarjih 3 halaman 26, adalah “Obyek bisnis bukan sesuatu yang haram”. Hal tersebut menjadi salah satu Nilai dan Tolok Ukur dari sebelas Nilai dan Tolok Ukur lainnya. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Jama’ah dari Jabir Ibn Abdullah pada saat tahun kemenangan, “sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan arca-arca berhala”. Selanjutnya beliau juga mengharamkan lemak bangkai untuk segala macam keperluan. Meskipun tidak untuk dikonsumsi (dimakan).

Selain itu Rasulullah SAW pernah bersabda dari Ibnu Umar r.a bahwa “Janganlah kalian membunuh katak. Sesungguhnya bunyinya adalah tasbih. Kemudian janganlah kalian membunuh khuffasy (kelelawar). Sebab pada saat Baitul Maqdis dibakar, kelelawar berdoa kepada Allah, “ya Tuhan kami kuasakan kami atas lautan sehingga aku bisa menenggelamkan mereka””. Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a juga menyebutkan hal yang sama. Hadist tersebut dikutip dari kitab Sunnan Ash-shaghir, Juz 4, halaman 59.

Ulama Syafi’iyah menjelaskan bahwa “larangan membunuh suatu hewan baik di dalam atau di luar wilayah Mekkah dan Madinah, maka larangan juga berlaku pada mengkonsumsinya”. Perlu diketahui bahwa kelelawar dalam bahasa Arab disebut dengan khuffasy, wathwath, dan khuththaf. Sebagian ulama menyebutkan bahwa antara khuffasy dan wathwath adalah sinonim mengacu pada hewan yang sama.

Pada beberapa tulisan yang telah dituliskan oleh penulis disebutkan bahwa Etika Bisnis adalah etika yang normanya berpijak atas landasan Aqidah, Syariah, dan Akhlak yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah. Segala sesuatu yang menyelisihi dari sumber-sumber etika tersebut termasuk perilaku, perbuatan, dan sikap yang tidak etis. Pada kasus Covid-19 yang telah dijelaskan di atas, dari hadist atau dalil disertai penjelasan ulama, dan didukung pula dengan fakta-fakta ilmiah dari para ilmuan sudah sangat jelas bahwa mengkonsumsi hewan yang bernama kelelawar adalah perbuatan atau amalan yang tidak beretika.

Oleh karena itu, segala proses produksi, distribusi, dan konsumsi (bisnis) atas kelelawar adalah termasuk perilaku yang tidak beretika. Selain itu, perilaku tersebut juga berkonsekuensi pada keharaman dari hukumnya. Keharamnnya disebabkan oleh terpenuhi indikator atau kategori tentang keharaman sesuatu dari dalil Naqli dan Aqli. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah Ushul “segala sesuatu yang dilarang maka hukumnya adalah haram”.
Wallahu a’lam

*Ketua PDPM Kota Depok, Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta, Tenaga Pendidikan SMA Muhammadiyah 04 Depok, Alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta