Ade Armando yang Tidak Saya Kenal: Menghentikan Kezaliman Pikiran

Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform)
 
Seorang kawan menyampaikan sebuah artikel dalam bentuk soft copy berjudul “Perkembangan dan Tantangan Gerakan Islamis-Tarbiyah di Universitas Indonesia”. Sebenarnya tak menarik untuk dibaca, panjang amat (36 halaman atau 8.346 kata). Kalau ditayangkan dalam bentuk twit bisa jadi 200 kicauan lebih. Isinya tidak terlalu penting tapi menyangkut nama besar: kampus ranking 80 terbaik dunia menurut Times Higher Education (THE) dalam daftar World University Impact Rankings.
Penulisnya Ade Armando, Dosen FISIP UI, tak begitu saya kenal. Seingat saya, Ade pakar komunikasi yang peduli dengan informasi sehat untuk masyarakat. Karena itu, pada awal reformasi (1998), Ade memelopori Lembaga Media Ramah Keluarga (MARKA) yang mengawasi maraknya media massa pasca reformasi, bersama isterinya (Nina Armando). Sajian informasi membanjir pasca runtuhnya regim Orde Baru, termasuk yang bermuatan kekerasan dan pornografi.
Lebih jauh, Ade yang aktif sebagai pakar di Habibie Center mendirikan Media Watch and Consumer Center (MWCC, 1999). Kajian rutin sistematis dan memprovokasi kesadaran kritis disebarluaskan ke berbagai kampus dan organisasi kemasyarakatan, termasuk lembaga keummatan. Hingga terbentuklah Masyarakat Tolak Pornografi (MTP, 2001) yang digerakkan aktivis muda dan kalangan perempuan, antara lain Azimah Subagyo. Saat itu, saya bertugas sebagai wartawan sehingga mengikuti perkembangan isu. Bahkan, beberapa kali diundang dalam seminar dan diskusi terkait.
Bersama para akademisi, aktivis LSM dan anggota ormas di seluruh Indonesia yang peduli dengan isu pengelolaan informasi, Ade berperan mendorong lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pornografi. Isu anti pornografi sesungguhnya telah dibahas sejak 1997, sebelum reformasi di DPR RI, namun draf RUU APP baru diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal. UU Pornografi baru ditetapkan dua tahun kemudian. Bisa dibayangkan dinamika sosial-politik dan dialektika pemikiran yang menyertainya. Posisi Ade selaku anggota Tim Asistensi bagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam penyiapan naskah RUU Pornografi (2007-2008) cukup jelas.
Melihat komitmen dan aktivitas sosialnya, Ade terpilih sebagai salah satu dari 104 tokoh Pemimpin Muda Indonesia oleh Partai Keadilan Sejahtera (Detik News, 20/11//2008). Entahlah, Ade mungkin menyesali masa lalunya dan sekarang melakukan otokritik. Namun, mantan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (2004-2007) itu mestinya menjunjung prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga tidak sembarang mengeluarkan opini sesat.
Contoh kecil, Ade menyebut gerakan Islamis-Tarbiyah mendapat tempat istimewa pada masa Rektor UI dijabat Prof. Gumilar R. Somantri (2007-2012). Menurut Ade, Gumilar menunjuk orang kepercayaannya, Dr. Kamarudin selaku Direktur Kemahasiswaan untuk mengendalikan mahasiswa, termasuk memberi banyak kemudahan bagi kegiatan kemahasiswaan yang terkait dengan Islam. Tetiba Ade menuding: “Di bawah instruksinya (pen: siapa?), uang beasiswa mahasiswa dari Depdikbud diberikan terlambat tiga-empat bulan, dengan dugaan bahwa uang itu dibungakan di bank untuk kemudian digunakan untuk kepentingan politik Tarbiyah.” Itu tuduhan serius dan belum pernah diperiksa dalam proses peradilan sehingga Ade harus bertanggung-jawab sepenuhnya. Tidak asal njeplak.
Saya tak mengenal Ade, tapi sesekali mendengar berita Pemimpin Redaksi Madina Online itu yang terlibat kasus penistaan agama. Aneh juga, jadi cari sensasi penuh resiko. Ade konon juga menjadi Direktur Komunikasi lembaga survei, Saiful Mujani Research and Consulting. Lembaga itu bersama relawan Sahabat Ahok turut membidani lahirnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dari sini, kita paham mengapa Ade mengembangkan opini bernuansa islamophobia atau phobia terhadap komunitas Muslim tertentu. Dalam laman facebooknya (14/3/2019), Ade menyatakan memilih Jokowi dan PSI pada pemilu 2019, sambil mengkritik PDIP.
Definisi Gerakan Eksklusif
Kembali ke artikel Ade tentang gerakan Islamis-Tarbiyah yang mengandung muatan anti-pluralisme dan anti keberagaman, ternyata dipresentasikan pula dalam diskusi yang digelar Setara Institute (31/5/2019). Bahkan, topik diskusi diperluas mengenai “Tumbuhnya Kaum Islamis di Kampus-kampus PTN”, setidaknya disebut 10 PTN favorit di seluruh Indonesia. Substansi diskusi berbungkus hasil penelitian.
Ade menguraikan, gerakan islamis-tarbiyah berkembang sejak Orde Baru hingga sekarang “sudah menancapkan akar yang kuat di UI”. Meski tidak mendominasi seluruh struktur politik di UI, pengaruhnya cukup luas di kalangan mahasiswa dan dosen muda. Ade menyimpulkan, gerakan itu merupakan “perpanjangan tangan kekuatan politik di luar kampus, terutama PKS.” Tampaknya, Ade sendiri ragu: ada kekuatan lain di luar PKS? Mengapa relasi sosial dalam kampus/akademi dipersepsi secara sempit sebagai perebutan pengaruh dalam struktur politik UI? Sejak kapan sivitas akademika, wa bil khusus UI, berebutan jabatan politik? Ade harus membeberkan asumsi dasarnya agar opininya lebih bermakna.
Untuk membuktikan asumsi yang disembunyikan itu, Ade menggunakan metoda pengumpulan data amat sederhana: seadanya. Dicari informan, mulai dari pejabat Humas UI, seorang (pen: cukup seorang!) Wakil Dekan di salah satu fakultas, dua mantan mahasiswa Tarbiyah, serta beberapa aktivis anti intoleransi. Kelihatannya, ini metoda kualitatif dengan teknik wawancara mendalam, walau tak diuraikan. Selain itu, Ade juga menggunakan pengalaman dan pengamatan langsung sebagai dosen UI mengenai kegiatan akademik dan non-akademik di UI sebagai sumber materi tulisan. Ini metoda observasi lapangan. Bisa dibayangkan, data yang terkumpul bersifat subyektif dan menggali karakteristik yang spesifik, namun tidak bisa digunakan untuk menggeneralisasi kondisi obyektif di kampus UI, termasuk komunitas yang dikategorikan gerakan islamis-tarbiyah. Keterbatasan itu tidak diungkap Ade.
Ade mengakui, kecenderungan radikalisasi keagamaan di UI tidaklah kuat (alias lemah), namun anehnya mengkhawatirkan adanya pembesaran gerakan yang percaya pada gagasan-gagasan kaum Islamis. Lalu, apa yang dimaksud Ade dengan kaum Islamis? Yakni, “kalangan yang memiliki keyakinan bahwa bangsa ini seharusnya hidup dengan tunduk pada aturan-aturan yang ditetapkan Tuhan dalam kitab suci Al Quran dan Hadits.” Definisi terlalu umum, sehingga tidak mudah menunjuk indikator yang mewakili sikap dan perilaku islamis. Semua orang yang membaca al-Qur’an dan al-Hadits bisa masuk dalam kategorinya. Apakah kategori itu positif atau negatif bagi kehidupan kampus UI? Ade tidak menjelaskannya secara eksplisit.
Ade hanya menyatakan: “Mereka tidak radikal. Tapi eksklusif untuk meraih kekuasaan atau memberi pengaruh dalam politik kampus.” Tampak terang, fokus Ade hanya pada perebutan kekuasaan/politik di kampus, bukan menjelaskan fenomena sosial/dakwah di kampus secara komprehensif.
Tanpa tedeng aling-aling, Ade menunjuk SALAM UI dan lembaga studi Islam di fakultas sebagai contoh gerakan islamis-tarbiyah. Sementara itu, organisasi semisal HMI dan PMII disebut Ade memilki kelemahan, sehingga kalah bersaing dengan kelompok tarbiyah. Ade tidak membedakan organisasi intra kampus (universitas/fakultas) dengan organisasi ekstra kampus (kemahasiswaan/kepemudaan) yang memiliki mekanisme kerja berbeda. Dengan metoda “penelitian” seadanya, Ade gagal menangkap fenomena keberagamaan (bila benar fokusnya seputar relijiusitas di kampus) dari level individu, komunitas hingga warga negara. Transformasi sikap keberagamaan itu mestinya menjadi patokan: apakah seseorang bersikap eksklusif atau inklusif, anti atau pro kemajemukan, toleran atau intoleran? Tanpa bukti meyakinkan, Ade hanya menebar prasangka.
Lebih jauh, Ade memaparkan pengaruh gerakan islamis-tarbiyah yang terkuat terlihat di “Fakultas MIPA, Keperawatan, Farmasi, Kesehatan Masyarakat, Ilmu Komputer, Ilmu Administrasi. dan Fakultas Tehnik.” Yang paling lemah pengaruhnya, disebut Ade, di FISIP dan Ilmu Budaya. Sedangkan di Fakultas Ekonomi, Hukum, Psikologi, Kedokteran dan Kedokteran Gigi, posisinya cenderung seimbang. Indikator pengaruh itu yang masih misterius: apakah menyangkut posisi formal di fakultas? Padahal, Ade menyambut gembira: naiknya tokoh pluralis di Fakultas MIPA.
Sebenarnya Ade bisa menjelaskan aspek yang lebih menarik, yaitu perkembangan mazhab berpikir lain di UI, “misalnya Pandu Budaya, Gerakan Mahasiswa Pembebasan (GMP), Serikat Mahasiswa Progresif (Semar), serta UI Liberalism and Democracy Study Club (UILDSC).” Sayangnya, mazhab lain itu tidak dieksplorasi lebih jauh sebab –menurut Ade– kelompok-kelompok itu terkesan hilang-timbul dan tidak terorganisasi secara matang.
Tunggu dulu, penelitian Ade ini terkait sikap keberagamaan (islamis vs pluralis) atau mazhab pemikiran (relijius vs sekuler)? Tidak terlalu jelas, sehingga kita tak mendapat gambaran utuh tentang kondisi di kampus UI. Bila Ade menyebut SALAM UI sebagai Unit Kegiatan Kerohanian Islam, maka perlu dijelaskan Unit Kegiatan Kerohanian Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan agama lainnya. Perlu dicek, apakah anggota dan aktivis UKK selain SALAM UI bersikap eksklusif atau inklusif, toleran atau intoleran? Apakah mereka percaya Kitab Sucinya masing-masing harus mengatur kehidupan sehari-harinya? Dari situ bisa dibangun pemahaman yang mendekati realitas.
Tidak fair untuk memblejeti “gerakan islamis-tarbiyah” di kampus UI, lalu menyinggung kelompok studi/diskusi dari mazhab lain sekadarnya. Itu sepertisteoreotyping, memberi label buruk kepada suatu kelompok yang kebetulan tidak sepaham. Bila dibiarkan dan diwariskan, steoretipe akan berkembang menjadi stigma sosial yang mengarah pada perilaku diskriminasi. Kalau ingin penelitian serius, bisa ditelusuri peta pemikiran di kampus: Islamis/relijius, sekuler, liberal, dan radikal/kiri/komunis. Tapi Ade tampaknya hanya ingin menggiring opini untuk menyudutkan kelompok tertentu, bukan melakukan penelitian obyektif.
Wacana Insinuatif
Ade menegaskan, wacana yang dikembangkan gerakan tarbiyah bukanlah pendukung gagasan Khilafah seperti HTI atau gagasan Negara Islam (NII). Ada tiga wacana dominan, menurut Ade, yang berkembang dalam gerakan tarbiyah di UI. Pertama adalah kewajiban umat Islam untuk menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasayarakat. Kedua, adanya ancaman terhadap Islam yang datang dari musuh-musuh Islam. Ketiga, era sekarang adalah era perang pemikiran.
Tafsiran Ade terhadap wacana tersebut mengarah insinuasi. Wacana pertama, menurut Ade, tidak hanya mengajarkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, melainkan juga menanamkan nilai-nilai pembedaan umat Islam dengan umat lain. “Umat non-islam tidak dipandang sebagai musuh, tapi tidak juga dipandang sebagai saudara sebangsa yang harus diajak bekerjasama secara setara,” entah dari mana simpulan itu didapat Ade. Wacana kedua, masih menurut Ade, memperkuat semangat eksklusivisme. Wacana yang terus dikembangkan adalah perlunya umat Islam bersatu melawan penindasan kaum kafir atau musuh-musuh islam, yang merupakan kombinasi dari kelompok Kristen, Zionisme, imperialisme-kapitalisme Barat, dan kalangan liberal-sekuler. “Diajarkan juga bahwa kaum Tionghoa adalah sekutu kaum Kristen dan sekuler dalam menindas umat Islam,” tulis Ade tanpa menyebut sumbernya. Wacana ketiga mengajarkan penaklukan Islam oleh Barat tidak dilakukan melalui kekuatan senjata dan politik, tetapi melalui penguasaan pemikiran dan kebudayaan.
Tak berhenti pada insinuasi, Ade merangkai persepsi yang mengerikan: “Kombinasi dari ketiga narasi tersebut adalah terbangunnya sebuah komunitas solid yang tertutup eksklusif yang bersikap hati-hati, mencurigai, memusuhi, dan menutup diri dari kalangan lain.” Ciri itu semacam sekte (cult) yang pernah merebak di negara lain lain, seperti Saksi Yehova di Inggris (BBC Indonesia, 23/11/2017). Sementara di Indonesia, MUI Jawa Barat mencatat sekitar 144 aliran sesat mengintai masyarakat (CNN Indonesia, 1/2/2016). Apakah di UI telah berkembang kelompok semacam itu? Ade perlu berterus-terang.
Ternyata Ade mengaitkan eksklusivisme keagamaan dengan sikap politik, yang disebutnya semakin menguat di UI terutama sejak Pilkada DKI 2012, yang diikuti oleh Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, Pemilihan Gubernur di sejumlah daerah pada 2018, dan Pilpres 2019. Di sini terlihat, limitasi “penelitian” Ade yang selalu mengaitkan dinamika keberagamaan dengan afiliasi politik. Bahkan, munculnya komunitas keagamaan (yang diberi label islamis-tarbiyah) dipotret dalam perebutan kekuasaan di masjid kampus, organisasi kemahasiswaan, jabatan fakultas hingga rektorat. Betapa dangkalnya.
Kekacauan Berpikir
Ade kemudian menyorot masuknya gerakan tarbiyah ke UI sekitar tahun 1990-an. Seakan terjadi proses importasi pemikiran ke UI yang dikenal sebagai kampus sekuler di era Orde Baru, tempat para teknokrat yang sangat berperan dalam pembangunan Indonesia. Salah satu tokoh gerakan intelektual yang dicatat Ade adalah Imam B Prasodjo (Ketua Senat Mahasiswa FISIP UI 1983-1984). Imam mengadakan diskusi-diskusi ilmiah tentang Islam di tengah dominasi kaum sekuler anti Islam, menurut Ade. Seminar ‘Percakapan Cendekiawan tentang Islam’ (Pedati) pada 1984 bergaung besar, tapi bagi Ade, tujuannya politis.
Pada masa itu dikembangkan konsep ‘Dakwah Kampus’ yang melibatkan sivitas akademika, seperti dosen, mahasiswa, karyawan dan pejabat pengelola kampus. Perkembangan tarbiyah di kampus kemudian bertemu dengan menguatnya Islam politik di kancah nasional, yang diwakili kehadiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Walau terkesan sebagai organisasi cendekiawan, di mata Ade, ICMI berubah menjadi organisasi yang berorientasi pada kepentingan kekuasaan politik.
Jelas terlihat kekacauan berpikir Ade dalam mencermati penggalan-penggalan sejarah dakwah kampus. Fenomena yang terjadi di kampus UI (termasuk FISIP UI) tak bisa dilepaskan dari fenomena yang berkembang di kampus seluruh Indonesia. Telaah Yudi Latif (2005) lebih komplet, tidak hanya genealogi intelegensia Muslim di era modern, melainkan juga membongkar intelegensia Kristen, nasionalis-sekuler, sosialis/komunis sejak zaman penjajahan hingga masa kemerdekaan. Dengan pemahaman sejarah yang lebih luas, kita bisa menempatkan dinamika dakwah kampus sebagai upaya berkontribusi untuk membentuk Indonesia yang maju dan beradab. Tidak melulu politik praktis, apalagi sematacampus politicking (perebutan pengaruh di jabatan kampus).
Harus diakui, UI bukan titik mula perkembangan dakwah kampus diIndonesia era modern. Kampus Ganesha (ITB) dengan program Latihan Mujahid Dakwah (LMD) di Masjid Salman merupakan pelopor pada awal 1980-an. Para penggerak dakwah kampus UI rerata adalah alumni LMD. Titik berikutnya, kampus UGM yang menggelar acara Ramadhan di Kampus (oleh Jamaah Shalahuddin) membuat proses belajar islam lebih popular dan merakyat pada era 1990-an. Model diskusi UGM itulah yang diadopsi FISIP UI (Pedati). Bahkan, bila dibandingkan dengan IPB, gerakan dakwah kampus UI masih tertinggal, karena pakar/gurubesar IPB saat itu telah merintis penyusunan buku-buku referensi Islamisasi Sains dalam beragam disiplin (walaupun ada perdebatan epistemologi). Saat itu tidak ada isu radikalisme (dan terorisme, saudara kembarnya) serta intoleransi di kampus.
Penulis ingin menambahkan catatan pribadi di kampus UNAIR Surabaya (anno 1985-1987). Kala itu dibentuk Unit Kegiatan Kerohanian Islam yang pernah dipimpin Wahyu Muryadi (mantan Pemred Majalah Tempo dan Jubir Presiden Abdurrahman Wahid), lalu dilanjutkan Mohammad Nasih (saat ini Rektor UNAIR). Penulis dan kawan-kawan saat itu aktif di jurusan/FISIP dan UKKI UNAIR, tapi merintis unit Pendidikan Bocah yang membina anak-anak di sekitar kampus, termasuk anak-anak jalanan dan kampung kumuh. Tak semua mahasiswa suntuk dengan politik kampus, masih banyak yang punya kepedulian sosial, hingga akhirnya melahirkan gerakan membaca cepat al-Qur’an dengan sistem Iqra, Qiroati dan sebagainya. Itulah sebagian kecil kontribusi mahasiswa Muslim Indonesia dalam memberantas buta huruf (literasi) dan mendorong inovasi dakwah di tengah keterbatasan pemerintah. Sisi positif yang semakin dilupakan.
Pada Selasa, 28 Mei 2019, Presiden Joko Widodo mengundang pemenang Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Internasional ke-7 di Turki, Syamsuri Firdaus, ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan itu, Jokowi menanyakan momen saat Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengucapkan selamat kepada Syamsuri di atas panggung. Tak banyak orang tahu, bahwa Syamsuri yang kuliah di FIB UI itu adalah salah seorang pengurus SALAM UI. Bagaimana Ade bisa menjelaskan fenomena aktual ini? Anak-anak muda yang dicap eksklusif dan fanatik terbukti telah memberikan kontribusi bagi nama baik Indonesia, dan otomatis juga nama besar UI. Selain Syamsuri, prestasi anggota SALAM UI tidak hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga bidang keilmuan, kebudayaan, olahraga dan kewirausahaan di level nasional dan internasional.
Kezaliman Pikiran
Kekacauan berpikir Ade semakin parah dengan menjelaskan gerakan tabiyah mulai mengembangkan jaringan melalui kerohanian Islam di SMA-SMA. Selain itu, mendirikan bimbingan belajar Nurul Fikri (yang belakangan menjadi sekolah formal), lembaga dakwah dan penerbitan. Ade mengabaikan social origin tiap institusi yang berbeda-beda dengan tujuan dan proses tersendiri, lalu melihatnya dari kacamata monolitik.
Ade menguraikan, pengaruh kelompok tarbiyah yang semula di masjid kampus, secara cepat menduduki jabatan strategis di lembaga-lembaga kemahasiswaan seperti Senat Mahasiswa (SM) atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Itu dimulai sejak terpilihnya Zulkiflimansyah dari Fakultas Ekonomi sebagai Ketua Senat Mahasiswa (SM) UI pada tahun 1994. Tahap berikutnya, gerakan tarbiyah bahkan membina sekelompok mahasiswa berpretasi untuk menjadi ujung tombak mereka. Salah satu lembaga yang dikembangkan untuk melahirkan kader-kader terbaik, menurut Ade, adalah Rumah Kepemimpinan.
Sampai di sini uraian Ade terkesan hanya menjelaskan perkembangan sejarah dan organisasi yang disebut gerakan islamis-tarbiyah. Namun, premis awal sudah membingkai: anti-pluralisme dan anti-kemajemukan. Bahkan, wacana gerakan islamis yang mencurigai, memusuhi, dan menutup diri dari kalangan lain dipaksakan sebagai kebenaran, tanpa pembuktian rasional atau empirik.
Sebagaimana Ade gagal menjelaskan realita SALAM UI, maka ia tak bisa menyodorkan secuil pun bukti eksklusivisme Rumah Kepemimpinan (RK d/h Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis atau PPSDMS). Kita kutip contoh kecil program Leadership Talk yang diselenggarakan RK/PPSDMS untuk membantah seluruh bangun argumentasi Ade yang rapuh. Siapakah komunitas yang pertama kali memperkenalkan sosok Joko WIdodo (pada tahun 2011 masih menjabat Walikota Solo) ke beberapa kampus PTN favorit?.
Bila dilacak dengan cermat, ternyata PPSDMS Regional 1 Jakarta merupakan komunitas yang pertama kali mengundang Jokowi untuk berdialog dalam acara Leadership Talk (19 Desember 2011) di FEUI, dengan tajuk utama “Kepemimpinan yang Mengubah Indonesia”. Narasumber yang tampil bersama Jokowi dalam sesi pertama (Leadership, Youth, and Government) yaitu Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) (Angota Dewan Pertimbangan Presiden) dan Goris Mustaqim (Pendiri ASGAR Muda). Pada sesi kedua (Leadership and Business) tampil Fahira Fahmi Idris (Pengusaha Muda), Firmanzah, Ph.D (Dekan FE Universitas Indonesia), dan Fajrin Rasyid (Pendiri Bukalapak). Itu momen istimewa ketika Jokowi berdialog dengan kalangan muda kampus, jauh sebelum pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Momen itu bertambah spesial karena acara ditutup orasi kepemimpinan oleh Anies Rasyid Baswedan. Tak ada suara gaduh dan rusuh saat itu, meski aula dipenuhi ratusan peserta (https://www.anakui.com/leadership-talks-2011-deskripsi-acara/#.XPT6BhYzZ1s).
Tak cuma sekali, PPSDMS Regional 4 Surabaya kemudian mengundang Jokowi untuk Leadership Talk berikutnya dengan tema “Pemimpin Futuristik untuk Indonesia” (3/3/2012). Acara kolaborasi dengan BEM FEB UNAIR itu menampilkan tokoh muda di sesi awal: Achmad Ferdiansyah (alumni berprestasi ITS) dan Rahmat Hariyanto (alumni FK UNAIR) didampingi Prof. Daniel M. Rosyid (Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS) yang berbagi wawasan tentang kepemimpinan di abad modern.
Jokowi (masih sebagai Walikota Solo) tampil di sesi akhir bersama Walikota Surabaya (Tri Rismaharini). Jokowi menilai pemimpin tidak hanya duduk di kursi dan memberi perintah. Tapi juga perlu turun ke bawah untuk tahu problem sosial yang dirasakan masyarakat. “Problem kota ada di lapangan, jadi sebagai pemimpin harus bergerak cepat memecahkan masalah mereka,” ujarnya.
Selain itu Jokowi menilai negara perlu sistem yang cepat dalam melayani masyarakat. Sistem yang cepat dan tepat menurutnya akan memunculkan transaksi layanan sosial dan birokrasi yang mudah. Hal tersebut sudah Jokowi buktikan pada saat pelaksanaan program kartu Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Kota Surakarta (PKMS) dan kartu Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS). Warga yang memiliki kartu tersebut langsung mendapat akses pelayanan kesehatan dan pendidikan secara langsung tanpa melalui prosedur yang rumit. (http://www.unair.ac.id/indonesia-butuh-pemimpin-futuristik-berita_1332.html). Paparan Jokowi dalam forum PPSDMS (yang kemudian bertransformasi menjadi Rumah Kepemimpinan) seperti self-fulfilling prophecy.
Paparan Jokowi dan Risma tentu saja dibahas secara kritis oleh mahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang sosial dan disiplin ilmu. Tak ada suara koor setuju karena begitulah watak sivitas akademika. Dengan praktek dialog dan dialektika berkelanjutan, maka bisakah kita membiarkan para mahasiswa itu dicap sepihak sebagai: eksklusif, intoleran dan anti-kemajemukan? Bisakah kita terima simpulan naïf Ade bahwa: sikap kaum muda yang independen itu berubah hanya gegara momen Pilkada atau Pilpres? Kampus dan kaum intelegensia di kampus adalah barometer kecerdasan dan kematangan publik, dan Ade telah melecehkannya.
Ade telah melakukan kezaliman pikiran (oppression of mind) atau kejahatan berpikir (thought crime) karena dari pengalaman subyektif yang bersifat parsial telah merumuskan realitas semu dan memaksa publik untuk percaya kepalsuan itu. Kezaliman pikiran ini lebih berbahaya dan mendahului segala bentuk ujaran (kebencian) atau perilaku (diskriminasi). Kita percaya, Rektor UI dan pejabat pemerintah di Kemenristek Dikti tidak akan terpengaruh provokasi Ade.
Sivitas akademika UI memegang teguh 9 Nilai Dasar, yaitu kejujuran, keadilan, keterpercayaan, tanggung-jawab, kebersamaan, keterbukaan, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, kepatuhan pada perundang-undangan yang berlaku. (https://www.ui.ac.id/berita/demi-wujudkan-visi-ui-miliki-9-nilai-dasar.html). Nilai dasar itu menjadi panduan untuk mewujudkan Visi besar UI: “Menjadi pusat ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan yang unggul dan berdaya saing, melalui upaya mencerdasakan kehidupan bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga berkontribusi bagi pembangunan masyarakat Indonesia dan dunia”. Adetelah merusak salah satu eksponen (mahasiswa) yang terbukti telah berkontribusi untuk memajukan kampus UI.
Visi SALAM UI sejalan dengan Visi besar UI, yakni “Sebagai Pusat Dakwah Islam Tingkat Universitas Indonesia yang Bersahabat, Kreatif, dan Mandiri menuju Civitas UI, Indonesia, dan Asia Tenggara yang Madani” (https://salam.ui.ac.id/profil/visi-misi/). Dengan segala potensi yang dimilikinya, aktivis SALAM UI bergerak bersama sivitas lain di kampus. Alhamdulillah, belum terdengar anggota atau alumni SALAM UI yang terlibat plagiarisme, kekerasan, atau penyimpangan perilaku selama ini.
Visi dan nilai yang diterapkan Rumah Kepemimpinan sama gamblangnya, sebagai: “Institusi strategis milik bangsa, dikelola secara profesional dalam membina SDM (Mahasiswa) terbaik guna mencetak Pemimpin Muda di masa depan. Peserta Rumah Kepemimpinan dididik dengan nilai karakter Rendah Hati, Open Mind, Moderat, Obyektif dan senantiasa ber-Prestasi dan ber-Kontribusi (ROOM-PK) untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat” (https://rumahkepemimpinan.org/). Sejak tahun 2002 Rumah Kepemimpinan telah mencetak 1049 Alumni yang berkiprah di berbagai sektor pengabdian.
Bila Ade menyebut, saat ini di UI tumbuh pula gerakan-gerakan masyarakat sipil seperti Aliansi UI anti Intoleransi, yang diketuai Donny Gahral. Mereka berusaha melakukan lobi dan aksi-aksi politik untuk mendukung terpilihnya kalangan pluralis (Merah Putih) di jabatan-jabatan strategis di jajaran kepemimpinan UI dan fakultas-fakultasnya. Silakan saja, tak ada yang melarang. Namun, jangan membatasi warga lain di kampus untuk berkumpul, berserikat dan berekspresi sesuai keyakinannya masing-masing. Jika memungkinkan, jalan dialog dan kolaborasi lebih sesuai dengan spirit kampus.
Epilog
Pada suatu ketika, Ade pernah mencanangkan prinsipnya untuk, “melawan kezaliman, kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin dilakukan oleh pemimpin manapun yang tak memiliki integritas dan sadar bahwa ia tak bisa dikendalikan” (dalam buku “Membangun di Atas Puing Integritas: Belajar dari Universitas Indonesia”, 2012). Setelah membaca artikel Ade sepanjang 8.346 kata itu, hanya satu kata: lawan kezaliman pikiran! Walaupun posisi Ade yang sekarang dekat dengan kekuasaan mungkin sulit tersentuh dengan hukum (untouchable). Tetapi kebenaran dan keadilan berpikir tidak boleh surut ke belakang.
Bagi para mahasiswa dan kaum muda, jangan pernah takut dengan teror pemikiran. Lakukan terus segala bentuk kebaikan karena Anda semua manusia dewasa, yang telah memahami imperatif luhur dari Nabi Saw, “Tolonglah saudaramu yang dizalimi dan berbuat zalim.” Kami berkata: jika menolong orang yang dizalimi (kami tahu), tapi bagaimana menolong orang yang berbuat zalim, ya Rasulullah? “Dengan menghentikan atau menghalangi (perbuatan zalimnya).” (HR Bukhari)