20 Tahun PK/PKS: Mendaki Jalan Terjal

Oleh: Sapto Waluyo (Direktur Center for Indonesian Reform)

Bagaimana partai politik merayakan hari kelahirannya? Biasanya, partai melakukan apel akbar yang diisi parade orasi atau pagelaran budaya, diselingi bakti sosial dan donor darah. Itu seremoni lazim, tapi tidak cukup bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Dalam rangka memperingati mIlad ke-20, kader PKS melakukan konvoi sepeda balap (road bike) dari Semarang ke Jakarta menempuh jarak 508 kilometer. Tak tanggung-tanggung, Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari memimpin rombongan Tour de Jakarta itu. Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid dan Calon Gubernur Provinsi Jawa Tengah Sudirman Said melepas 45 penggowes sepeda beragam usia. Sebelumnya, kader PKS di wilayah Sumatera telah menaklukkan 8 gunung tertinggi di beberapa provinsi.

PKS ingin mendidik kader dan simpatisannya, bahwa perjuangan politik adalah perjalanan panjang yang membutuhkan stamina dan kerjasama tim untuk menyusurinya sampai ke tujuan. Politik bukan jalan pintas untuk meraih popularitas atau kursi kuasa, lalu mengakumulasi kekayaan dengan jalan haram. Seperti para pendaki gunung, kaum politisi sejati terlatih melewati jalan terjal penuh onak dan duri, demi mencapai puncak.

Puncak perjuangan bagi seorang politisi adalah ketika telah mampu menaklukkan egonya, lalu menyadari betapa kecil dirinya di batas cakrawala. Seluruh otoritas dan fasilitas yang dinikmatinya suatu hari akan fana, karena kekuasaan memang dipergilirkan menurut konstitusi manusia dan sunnah Tuhan.

PKS telah berkiprah selama dua dasawarsa, jika dihitung dari tanggal berdiri Partai Keadilan (PK) pada 20 Juli 1998. Karena PKS adalah kelanjutan dari PK yang tidak lolos electoral threshold pada pemilu tahun 1999. Sebenarnya tanggal berdiri PKS tercatat 20 April 2002. Dua entitas itu memberi warna unik dalam jagad politik Indonesia.

Terlalu mewah untuk menyebut kontribusi PKS dalam pembangunan bangsa (nation building), karena usia PKS masih tergolong muda dan belum tampil sebagai partai berkuasa seperti PDI Perjuangan, Golongan Karya atau Partai Demokrat. PKS juga tak memiliki tokoh flamboyan yang berpeluang besar untuk menjadi Presiden RI semisal Prabowo Subianto dari Gerindra. Tetapi, sangat tak adil untuk mengabaikan sumbangsih PKS dalam pembentukan karakter politik Indonesia kontemporer. Dirk Tomsa (2011) menyatakan proses demokrasi telah membuat kekuatan radikal Islam menjadi lebih moderat dan itu membentuk kualitas demokrasi Indonesia lebih matang.

Pandangan itu terkesan mencurigai kekuatan politik Islam adalah ancaman bagi eksistensi Indonesia sebagai bangsa multietnik. Padahal, kenyataannya sejak masa kemerdekaan Indonesia, tokoh Islam melalui organisasi massa dan partai politik Islam menjadi aktor terdepan dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). PKS selalu menisbatkan diri sebagai penyambung rantai sejarah nasional sebagaimana diungkapkan Ketua Majelis Syura PKS, Salim Segaf al-Jufri.

Pada tahun 2009, mantan PM Singapura Lee Kuan Yew berkunjung ke Indonesia dan berdialog dengan Hidayat Nur Wahid yang saat itu menjabat Ketua MPR RI. Lee bertanya tentang perkara tak terduga, “Bagaimana masa depan Indonesia dan Asia Tenggara jika PKS kelak memenangi pemilu di Indonesia?”. Hidayat tak langsung menjawab karena mafhum arah pertanyaan tokoh senior seangkatan dengan mantan Presiden Soeharto.

Hidayat memberikan contoh kongkrit kemenangan PKS di Provinsi DKI Jakarta pada pemilu tahun 2004 ternyata tidak melahirkan gerakan talibanisme seperti dipropagandakan sebagian orang. Contoh lain di wilayah timur Indonesia, kader PKS yang menjadi Bupati Halmahera Selatan (Muhammad Kasuba) tak mengubah kabupaten di Provinsi Maluku Utara itu menjadi zona intoleran dan penuh kebijakan diskriminasi. Semua wilayah yang dipimpin kader PKS relatif stabil dan lebih maju, seperti Provinsi Jawa Barat (Gubernur Ahmad Heryawan) dan Sumatera Barat (Gubernur Irwan Prayitno).

Setahun sebelumnya Hidayat diundang ke Singapura untuk berdiskusi bersama akademisi dan mahasiswa berbagai bangsa di kampusNational University of Singapore (NUS). Hidayat berbicara tentang masa depan politik Islam di Indonesia dan kontribusinya bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Sebagai pengantar tampil tokoh pemikir Kishore Mahbubani yang memuji perkembangan demokrasi di Indonesia, bahkan dinilainya lebih maju dari Amerika Serikat.

Perbincangan intelektual semoga menepis segala kecurigaan tidak hanya terhadap PKS, melainkan juga kepada semua kekuatan politik Islam. Hidayat juga pernah menjadi pembicara dalam konperensi di Madrid, Spanyol (2008) tentang dialog antaragama dan menjadi penasehat untuk King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID) yang berkantor di Wina, Austria.

Tokoh lain seperti KH Hasyim Muzadi dan Prof. Din Syamsuddin menduduki pimpinan International Conference of Islamic Sholars (ICIS) dan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations(CDCC). Kebetulan Kiai Hasyim, Profesor Din dan Doktor Hidayat adalah alumni Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Fakta itu semestinya menempatkan PKS dalam satu barisan dengan gerakan Islam arus utama di Indonesia, sebagaimana Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan ormas atau parpol berbasis Islam lainnya.

Namun, persepsi publik bisa jungkir-balik, apalagi di zaman informasi internet; tatkala fakta, opini atau provokasi bercampur-baur. Masih ada segelintir orang yang berinsinuasi bahwa PKS adalah agen asing membawa ideologi Wahabisme. Pekan lalu (14/4) Hidayat berbicara di depan forum internasional di Istanbul, Turki tentang pengalaman Indonesia mengelola masa transisi demokrasi. Di antara tokoh yang hadir: Rashid Gannouchi (Tunisia), Tawakkul Kharman (penerima hadiah Nobel dari Yaman), Mahathir Mohammad (Malaysia), Sami Uryan (Palestina), M. Hasan Walad Dedew (Mauritania) dan lainya. Hidayat menjelaskan peran ormas dan partai Islam –termasuk PKS– dalam mengawal proses demokratisasi sejak reformasi 1998 hingga pemerintahan Joko Widodo.

Bila kini PKS dipersepsikan sebagai kekuatan oposisi kritis yang lantang menyuarakan #2019GantiPresiden, maka perlu dipahami sebagai bagian dari dinamika politik nasional. PKS adalah partai yang lahir dari rahim reformasi, dalam dirinya tertanam DNA perubahan yang fundamental. PKS melihat gejala stagnansi dalam kepemimpinan nasional di tengah populisme yang semakin menguat. Untuk itu, rakyat harus disodorkan alternatif agar pemilihan umum sebagai sarana demokrasi benar-benar berkualitasmenjadi alat uji pembuktian janji dan komitmen para elite politik. Jangan sampai kaum politisi berubah menjadi pemberi harapan palsu.

Platform Kebijakan Pembangunan PKS (2017) secara komprehensif membahas problem nasional dan menawarkan solusi. Regenerasi kepemimpinan nasional merupakan salah satu topik serius yang ditekuni PKS dengan membangun sistem pembinaan sumber daya manusia yang tangguh, bukan semata sistem kaderisasi yang tertutup dan terbatas. Mantan Menristek RI, Suharna Surapranata, adalah sosok paling bertanggung-jawab dalam perumusan platform PKS dan menawarkan gagasan terbuka tentang agenda transformasi bangsa.

Khusus dalam pasal pemberdayaan SDM, platform PKS menggambarkan kurva pembelajaran terdiri dari empat tahap penting, yakni: pematangan diri, pematangan kemampuan, pematangan peran dan kearifan filosofis. Pada tahap awal pembinaan SDM diarahkan untuk mengenal jatidiri dan mengembangkan integritas serta kompetensi teknis. Tahap selanjutnya menerapkan ilmu dan kompetensi serta membangun lobi untuk mempengaruhi kebijakan. Tahap ketiga memantapkan peran di level nasional dan internasional serta merakit jaringan kolaborasi. Dan tahap terakhir, menjadi rujukan dalam pemecahan masalah di tingkat nasional maupun internasional. PKS tidak hanya berdiskusi tentang bonus demografi, tetapi memulai langkah kongkrit untuk menghadapinya.

Satu contoh kecil tentang perhatian PKS dalam pembinaan SDM ialah seorang kadernya, Faris Jihady, yang menempuh ujian tesis magister bidang Tafsir al-Qur’an di King Saud University, dua hari menjelang milad PKS (18/2). Judul tesisnya: “Al-Istidlal bil Ayat al-Qur’aniyah fi Kutub as-Siyasah as-Syar’iyah, Dirasah Tahliliyah” (Studi Analitis Penggunaan Dalil Ayat al-Qur’an dalam Literatur Politik Islam). Penelitian itu tentang dalalah ushul fiqh dan qawaid tafsir dari tiga buku utama politik Islam: al-Ahkam al-Sulthaniyah (al Mawardi), Tahrir al-Ahkam fi Tadbiri Ahli al-Islam (Ibn Jamaah), danSiyasah Syar’iyah fi Islah al-Ra’i wa al-Ri’ayah (Ibn Taimiyah). Kajian kitab klasik dikomparasikan dengan 20 kitab tafsir dari era salaf hingga kontemporer. Hasilnya: cum laude. Dengan penguji: Dr. Shalih bin Nashir an-Nashir, Prof. Dr. Nashir bin Muhammad al-Mani’, dan Dr. Muhsin bin Hamid al-Muthiri.

Faris adalah putra kedua dari Mutammimul Ula (mantan anggota DPR RI dari Fraksi PKS) dan Wirianingsih (Ketua DPP PKS Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Ketahanan Keluarga). Ia mewakili generasi baru PKS, disamping PKS Muda yang vokal dan kritis. Mas Tamim dan Mbak Wiwik adalah tipikal keluarga PKS yang beranak banyak (10 orang) dan semuanya penghafal al-Qur’an. Faris tidak hanya menekuni karir akademis, tetapi juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan dan peduli dengan permasalahan nasional/global.

Bayangkan, ada ribuan (bahkan jutaan) anak muda yang menempuh jalan sunyi akademisi dan profesi, menggagas karya seni-budaya dan inovasi teknologi, atau menggerakkan swadaya masyarakat dan wirausaha. Mereka tidak disorot publik dan tidak pula terlalu eksis di media sosial. Tetapi, inisiatif dan karya mereka akan menentukan masa depan Indonesia. Mereka itulah yang menuntut perubahan dan memastikan regenerasi kepemimpinan nasional.

Menyambut milad ke-20, PKS membuka diri kepada seluruh lapisan masyarakat yang ingin berpartisipasi memperbaiki kondisi negeri ini. Tidak guna saling menghujat, menghabiskan energi untuk mempertahankan posisi dan klaim justifikasi. Sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, PKS terbuka bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Tapi, orang yang ingin bergabung ke PKS untuk menikmati jabatan empuk, dia keliru. Karena PKS, mengajak kader dan simpatisannya untuk mendaki jalan terjal (al-aqabah) demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. []