Politik Senyap: Inspirasi Kanda Mutammimul Ula

  Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform)         

Anggota parlemen, sesuai namanya (bahasa Perancis, parler: berbicara), memang digaji dan ditugaskan untuk berbicara. Bukan sembarang bicara, tapi menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Karena itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ri dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus memahami segala persoalan yang sedang dihadapi rakyat dan menguasai berbagai cara agar persoalan itu dapat diselesaikan. Jadi, berbicara (retorika) hanya salah satu metoda untuk menyelesaikan persoalan dan memperjuangkan aspirasi rakyat.

            Metoda lain? Diam. Bukan berarti tidak bekerja, melainkan bertindak nyata sesuai dengan lingkup tugas wakil rakyat, yakni: membuat undang-undang (legislasi), merancangan anggaran publik (budgetting), dan mengawasi jalannya pemerintahan (political control). Politik diam itu terdengar aneh di tengah ingar-bingar unjuk wicara dan gebyar pencitraan. Kinerja anggota parlemen sering diukur dengan indikator: seberapa sering namanya muncul di media arus utama atau seberapa mampu dia membuat tagar yang menjadi trending topic tentang isu publik yang diadvokasinya. Karena sudah melekat bagi sebagian politisi, retorika merupakan salah aspek penting strategi barking and bargaining (berteriak dan bernegosiasi). Semakin kencang teriakan terhadap suatu isu atau instansi tertentu, semakin besar peluang untuk bernegosiasi seputar isu dan instansi itu.

            Politik diam atau keheningan politis (political silence) menunjukkan karakter politisi berintegritas, tentu saja setelah berjuang mengadvokasi kepentingan publik secara optimal. Mereka akan bersuara jika diperlukan, bahkan suaranya mungkin terdengar aneh di tengah mayoritas pendukung status quo, tetapi mereka tidak goyah tatkala ditekan atau digoda kekuasaan. Tugas legislasi, penganganggaran dan kontrol publik memerlukan kompetensi dan ketekunan untuk memahami detail persoalan, disamping wawasan kebangsaan dan kerakyatan. Mungkin tugas pengawasan lebih mengandalkan retorika karena perlu menyadarkan dan mengajak partisipasi publik. Namun fungsi legislasi dan penganggaran harus mampu menerjemahkan aspirasi rakyat dalam pasal-pasal Rancangan Undang-undang dan nomenklatur anggaran publik. Tak cuma modal omdo (omong doang) atau asbun (asal bunyi).

            Studi komunikasi mengungkapkan, diam adalah suatu bentuk tindakan komunikasi, bukan absennya komunikasi (Jaworski 1993). Ada beberapa tipe diam sebagai wujud komunikasi, yaitu: keheningan (stillness), jeda (pause), bungkam (silencing), dan diam fasih (eloquent silences) [Ephratt 2008]. Hening dan jeda merupakan aspek penting dari retorika untuk memberi tekanan dan perhatian pada suatu pesan. Misalnya, pemimpin yang sedang menyampaikan kondisi di saat bencana akan terdiam sejenak pada saat menyebut jumlah korban yang besar, bahkan nyawa satu orang warganya sungguh tak tergantikan. Momen itu akan memberikan kesan bahwa sang pemimpin memiliki empati tinggi dan patut dipercaya ucapannya. Tipe diam yang lain, bungkam dan kefasihan diam merupakan politik perlawanan dan pembangkangan (Jungkunz 2012). Strategi bungkam dan diam cerdas adalah protes terhadap dominasi atau hegemoni untuk mensiasati situasi sulit beresiko tinggi (Parpart 2010). Ketika parlemen dikuasai mayoritas koalisi status quo, maka suara minoritas oposisi mungkin hanya dianggap gangguan kecil. Tapi, sikap diam oposisi atau walk out dalam proses pengambilan keputusan akan memberi dampak kepada publik, bahwa pihak yang paling bertanggung-jawab apabila terjadi kesalahan kebijakan adalah mayoritas pendukung kemapanan. Mereka tak bisa lagi dipercaya membela kepentingan publik.

            Dalam konteks diam penuh makna itu, kita belajar dari Kanda Mutammimul Ula, anggota DPR RI periode 1999-2004 dan 2004-2009. Dalam sunyi, Mas Tammim wafat pekan lalu (7/5/2020). Ratusan rekan sejawat, tetangga dan kerabat, serta murid-muridnya mengantarkan Ketua Umum PB PII (Pelajar Islam Indonesia, masa bakti 1983-1986) itu ke pemakaman. Saya beruntung ikut menshalatkannya dan menggotong keranda jenazahnya ke masjid dekat rumahnya.

            Perkenalan dengan Mas Tammim bermula di masa SMA (1981-1983), ketika saya menjadi Ketua Rohis dan Ketua OSIS, kemudian aktif di organisasi ekstra sekolah PII. Waktu itu, saya masih menjadi Pengurus Komisariat PII Pugar (Pulogadung-Rawamangun), sedangkan Mas Tammim sudah menjadi Pengurus Besar PII yang bermarkas di Menteng Raya 58, Jakarta Pusat. Saya ingat keterampilan menulis pertama kali teruji di masa SMA dengan membuat buletin Jum’at. Buletin itu kami cetak dengan kertas stensil dan dijual di tiap kelas, lalu uangnya dimasukkan kas Rohis, serta sebagian untuk insentif pengurus. Saya lupa berapa harga jual buletin per lembar, tapi insentif pengurus bisa Rp 100-200 per pekan. Sekadar catatan ongkos transportasi bus kota saat itu sekitar Rp 100/pelajar dan harga bakso semangkok Rp 200, sementara kurs satu USD kisaran Rp 625.

            Selain buletin Jum’at, kami juga membuat buletin organisasi pelajar dengan menu artikel isu-isu nasional dan global. Dengan modal iuran anggota dan sumbangan donatur, Pengurus Komisariat PII bisa membeli mesin stensil merek Gestetner buatan Jerman. Kami jadi menerima order cetak buletin, brosur, dan buku saku dari berbagai sekolah/lembaga. Saya dan beberapa orang kawan biasa bermalam di kantor sekretariat yang mirip gudang di belakang Asrama Mahasiswa Sunan Giri, Rawamangun. Sesekali saya juga bermalam di mushola sekolah di kawasan Kampung Ambon, Jakarta Timur. Masa SMA kami berusaha mandiri, meski masih mendapat uang jajan dari orangtua tiap pekan. Sebagian uang jajan kami tabung karena kami bermimpi memiliki percetakan besar untuk memproduksi buku-buku bermutu. Saya tak punya sepeda angin (apalagi sepeda motor, waktu itu), sehingga sesekali berjalan kaki dari rumah di daerah Pisangan Lama menuju sekolah sekitar 3-5 kilometer, atau sebaliknya bila pulang sekolah.

            Isu nasional yang sedang merebak saat itu adalah pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi sosial dan politik, sedangkan isu global tentang kemenangan Revolusi Iran dan serangan Uni Sovyet ke Afghanistan. Saya menulis artikel tentang masalah keislaman dan sukses belajar untuk buletin Jum’at, sementara untuk buletin organisasi saya tulis berita dan opini sosial-politik. Salah seorang mentor kami dalam tulis-menulis adalah Zaenal Muttaqien, kakak kelas di SMA yang kemudian menjadi Pendiri dan Pemimpin Redaksi Majalah Sabili.

            Sebelum buletin organisasi naik cetak, biasanya saya konsultasi dengan Bang Zaenal yang waktu itu jadi Pengurus Wilayah PII Jakarta Raya. Kami janjian bertemu di Menteng Raya biasanya hari Jum’at sore atau akhir pekan, di luar jam sekolah. Suatu hari saya memuat pidato Ketua Umum PB PII tentang sikap organisasi terhadap tekanan pemerintah agar mengubah asas organisasi dari Islam menjadi Pancasila, saya muat utuh beberapa halaman. Kata Bang Zaenal kepanjangan, dipotong aja, sayang halamannya buat artikel lain atau iklan. Saya gak berani, akhirnya saya minta izin ke ruang Ketum bertemu Mas Tammim untuk minta arahan. Orangnya kalem, dia baca seluruh isi naskah dengan teliti, lalu berkomentar singkat: “Bagus. Semoga bisa bertahan lama terbitnya.” Cukup sekian. Padahal, foto Mas Tammim ada di halaman depan buletin itu. Setelah dicetak, buletin itu cukup laris dicari anggota dan alumni PII. Biasanya saya minta naskah asli pidato seorang tokoh untuk menjadi dokumen sejarah, tapi sekarang entah di mana tercecer.

            Di belakang markas Menteng Raya terletak Masjid Al-Fataa sebuah bangunan bersejarah. Salah satu momen penting yang tercatat di masjid itu adalah pidato halal bilhalal Nurcholish Madjid  berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” (1970). Acara silaturahim yang digelar bersama aktivis Gerakan Pemuda Islam (GPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan PII itu bikin gempar karena Cak Nur melontarkan jargon, “Islam Yes, Partai Islam No”. Padahal, saat itu bangsa Indonesia sedang menyongsong pemilihan umum yang pertama di era Orde Baru (1971). Sejak itu, para aktivis pelajar Muslim berkenalan dengan wawasan keindonesiaan, kemodernan dan keislaman. Entah mengapa, saya lebih tertarik dengan wawasan keislaman meskipun berasal dari latar belakang keluarga Jawa dan bisa dikatakan Islam abangan, menurut kategori Clifford Geertz. Salah satu tokoh yang mendorong saya untuk rajin membaca dan memfotokopi buku daras adalah Mas Tammim, selain Ayahanda yang seorang pegawai di perusahaan swasta nasional. Dari Ayahanda, saya dapat buku dan bacaan berbahasa asing tentang manajemen, kepemimpinan dan pemikiran sosial-politik. Minat baca itu (dan sesekali menerjemahkan buku berbahasa Inggris) semakin menggebu saat saya pindah kuliah di Surabaya dan berguru pada Ustadz Hud Abdullah Musa (cucu A. Hassan, tokoh Persatuan Islam) di Bangil, Jawa Timur. Saya mempelajari sejarah dan filsafat politik Islam.

Tekanan Kekuasaan

            Interaksi dengan Mas Tammim tidak sering dan tidak bisa lama, karena kondisi lingkungan di era Orba sangat tidak bersahabat. Kegiatan masyarakat diawasi dengan ketat, guru dan orangtua acap diteror agar mengawasi kegiatan siswa/anaknya di luar sekolah. Saya pernah mengikuti training yang diselenggarakan PII, tetiba didatangi aparat keamanan dan dibubarkan. Semua peserta dibawa ke markas polisi terdekat dan diperiksa intensif, baru dipulangkan keesokan harinya. Tentu saja membuat orangtua gelisah. Sejak itu, kami tak bisa mengurus surat kelakuan baik, padahal belum lulus SMA dan ada rencana melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Persoalannya sederhana, karena kami dinilai menentang Pancasila dan terlibat gerakan ekstrem kanan. Saya tak begitu paham logika kekuasaan Orba, tapi dalam situasi penuh ketegangan fisik dan mental, Mas Tammim pernah menyampaikan pesan: “Kita tidak menentang Pancasila. Kaum Muslimin justru memberikan kontribusi besar bagi terbentuknya nasionalisme Indonesia dan memberi bingkai nilai-nilai Pancasila yang transendental.” Singkat dan padat, nyaris tanpa emosi. Kami hanya disuruh membaca buku karya Endang Saifuddin Anshari (1981) bertajuk “Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959”.

            Saya menyaksikan Mas Tammim kokoh dengan pendiriannya, tapi tak bersuara vokal seperti para politisi dan mubaligh zaman itu. Ketenangan Mas Tammim agak mirip dengan Pak Natsir dan Pak Roem, walaupun mereka dari generasi berbeda. PII tetap utuh di tengah badai tekanan politik Orba, sementara organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU harus berijtihad untuk menerima asas Pancasila, dan beberapa organisasi lain terbelah sikapnya (HMI dan GPI, contohnya).

            Selepas SMA, saya lebih aktif di organisasi BKPMI (Badan Koordinasi Pemuda Masjid Indonesia). Saya ikut latihan kader mubaligh dan berkenalan dengan tokoh-tokoh vokalis seperti KH Dalari Oemar, A.M. Fatwa, Tonny Ardie dan Abdul Qadir Jaelani. Kaget juga saya bila mengenang kembali masa-masa bergolak itu, karena tetiba jadi vokalis di berbagai mimbar masjid dan mushola. Berubah wajah jadi anak muda yang lain, suasana zaman itu (gestalt) telah membentuk manusia Indonesia menjadi frustasi dan pemarah. Rakyat dan umat yang merebut kemerdekaan Indonesia, tapi kemudian segelintir penguasa menerapkan otoriterianisme Orde Lama. Rakyat dan umat juga yang meruntuhkan kesombongan komunisme (PKI) dan mendukung Orde Baru, tetapi penguasa baru membangun otoriterianisme baru. Karena itu, anak-anak muda melawan segala bentuk tirani, meski resikonya bertaruh nyawa. Tragedi berdarah di Tanjung Priok (September 1984) menandai puncak tirani. Dalam hati, saya mengaku kalah. Harus pindah kuliah dari Jakarta ke Surabaya, menyingkir.

            Sepi dari ingar-bingar politik, tenggelam pada kegiatan pendidikan dan dakwah. Saya sempat berkeliling seluruh pelosok Jawa Timur, mulai dari pantai utara, daerah mataraman hingga pantai selatan. Bahkan, akhirnya berkesempatan menjelajahi Pulau Madura, menyeberang ke Kangean hingga Sapeken dan sekitarnya. Di markas DDII Jatim, saya berkenalan dengan tokoh senior PII, Tamat Anshori Ismail, yang tentu saja kenal betul Mas Tammim. Saya sempat mendirikan LSM bernama Pusat Bina Swadaya Ummat (PBSU) dan berinteraksi dengan Lembaga Dakwah Khairu Ummah di Jakarta yang membina para mubaligh muda. Khairu Ummah didirikan, antara lain oleh Bang Mukhlis Abdi, salah seorang Sekjen PB PII (1986-1989) setelah periode Mas Tammim. Di sinilah energi perubahan kembali dibangkitkan. Bang Mukhlis lebih vokal karena tugasnya sebagai Khatib dan Mubaligh, serta sedikit humoris seperti kebanyakan orang Betawi. Bang Mukhlis dan KU berperan besar dalam mengkader mubaligh generasi baru dan menghidupkan masjid/mushola di kampus/sekolah serta perkantoran. Mas Tammim sendiri aktif berdakwah di pelosok Jawa Tengah dan Yogyakarta. Suatu ekosistem dakwah terbentuk di tengah pengapnya kehidupan politik nasional, membuka jalan bagi lahirnya suatu masa yang akan menampilkan Dai Sejuta Umat, Zainuddin MZ. Kerja senyap tak banyak orang mencatat.

            Dalam salah satu pertemuan mubalighin/mubalighat lintas daerah, kami membahas silabus kegiatan di bulan Ramadhan, agar pembinaan berlangsung semarak dan penuh hikmah, serta tema-tema kajian lebih sistematis. Saya memaparkan “30 Tanjakan Menuju Kemenangan” sebagai bahan untuk Kultum (Kuliah Tujuh Menit) qabla/ba’da tarawih. Saya jelaskan tema yang perlu dibahas secara runtut, dalil al-Qur’an dan As-Sunnah yang perlu dirujuk, dan buku bacaan penunjang, sehingga para mubaligh lebih siap membangun wawasan keummatan. Seorang peserta bertanya, bagaimana caranya menyusun silabus yang sistematis macam itu? Saya bilang, perlu belajar dari Mas Tammim: harus banyak baca dan teliti mempelajari sekuen perkembangan pengetahuan. “Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk berubah dalam waktu singkat. Tapi kita bisa memberi jalan, bagaimana perubahan bisa dilakukan setiap orang,” ujar Mas Tammim suatu hari. Dengan metoda itu, kita bisa menyusun silabus Khutbah Jum’at dalam satu tahun, bahkan kita bisa menyusun silabus Khutbah Idul Fitri atau Idul Adha dalam jangka satu dasawarsa, tentu saja semua diadaptasi sesuai perkembangan masalah kontemporer.

            Setamat kuliah, saya bekerja sebagai wartawan. Sebenarnya sejak masa kuliah saya sudah jadi penulis di majalah Al-Muslimun (Bangil) dan kontributor koran daerah (Surabaya Post). Saya pulang kampung ke Jakarta saat Republik Indonesia sedang “hamil tua” menjelang meletusnya gerakan reformasi. Salah satu pelopornya adalah Amien Rais, tokoh pembaharu Islam yang memimpin Muhammadiyah dan mengajukan proposal suksesi nasional pada tahun 1993. Pendukung utama Amien dan gerakan reformasi adalah mahasiswa dan kelas menengah, mesin utamanya Lembaga Dakwah Kampus (LDK), namun akhirnya semua rakyat tergerak. Saya mewawancarai beragam narasumber dari kelompok kiri dan kanan, termasuk pendukung status quo, kecuali sumber di Istana Negara karena harus ditangani wartawan khusus (yang lulus screening dan bisa memakai jas plus dasi secara serasi). Saya lihat Mas Tammim sudah menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi dan membentuk lembaga kajian politik di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Saya sempat diundang dan bertemu dengan para narasumber kritis, seperti Prof. Deliar Noer (Rektor IKIP Jakarta yang dipecat), Faisal Basri (ekonom UI), dan Prof. Rahman Zainuddin (gurubesar politik Islam).

            Pasca lengsernya Soeharto, Mas Tammim terjun ke politik mendirikan Partai Keadilan yang dideklarasikan (9 Agustus 1998) bersama tokoh-tokoh muda lainnya. Mas Tammim tercatat sebagai anggota Dewan Pendiri PK nomor 5 dan Mukhlis Abdi nomor 9. Kecuali tokoh PII, pendiri PK juga ada yang berlatar belakang PB HMI (Sunmanjaya Rukmandis), GPI (Mashadi), Alumni Ponpes Gontor/Muhammadiyah (Hidayat Nur Wahid), Alumni Ponpes NU (Ahzami Sami’un Jazuli), Ponpes As-Syafi’iyah (Rahmat Abdullah), Ponpes As-Syukriyah (Acep Abdul Syakur), aktivis perempuan Aisyiyah (Siti Zainab), Yayasan al-Hikmah (Abdul Hasib), ekonom perempuan (Nursanita Nasution), dan aktivis mahasiswa FISIP UI (Muzammil Yusuf). Pada mulanya, mereka dipandang sebagai anak bawang dalam politik, apalagi PK sempat tak lolos electoral treshold (2%) dalam pemilihan umum tahun 1999. Tapi, setelah bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuat loncatan elektoral dalam pemilu 2004.

            Salah satu faktor penarik dukungan publik terhadap PKS pada pemilu 2004 adalah kinerja anggota DPR RI asal Partai Keadilan yang tergabung dalam Fraksi Reformasi bersama PAN. Tujuh orang anggota parlemen asal PK hasil pemilu 1999 adalah: Abdurraqib Abdulkadir, Irwan Prayitno, Mashadi, Mutammimul Ula, Nur Mahmudi Ismail, Soenmandjaja, dan Zirly Rosa Djamil. Nur Mahmudi kemudian digantikan oleh Syamsul Balda karena diangkat sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada pemerintahan Abdurrahman Wahid. Pada waktunya, Syamsul dan Zirly diganti oleh Yoyoh Yusroh dan Aan Rohana. Politisi perempuan cukup berperan mewarnai partai Islam.

            Jejak penting aleg PK yang tergabung dalam Fraksi Reformasi turut menentukan terbentuknya Poros Tengah yang menempatkan Amien Rais selaku Ketua MPR RI (1999-2004) dan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI pasca reformasi. Selama masa transisi itu terjadi Amandemen UUD 1945, dimana Fraksi Reformasi bersuara lantang agar Pembukaan UUD 1945 tidak mengalami perubahan dan akhirnya menjadi konsensus nasional. Karena dalam Pembukaan UUD NRI 1945 terkandung bukti sejarah perjuangan kemerdekaan sebagai rahmat dari Allah Swt, tujuan berdirinya negara Republik Indonesia dan Dasar Negara RI. Fraksi Reformasi sangat menghargai jasa para Pendiri Bangsa (founding fathers) Indonesia, sehingga buah pemikiran mereka dalam merancang fondasi kebangsaan ditempatkan sebagai konsensus nasional. Bila saat ini, ada kelompok yang mengusulkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan memaksakan satu tafsir tunggal terhadap Pancasila, maka itu bertentangan dengan semangat yang ditanamkan Pendiri Bangsa. Kita pernah mengalami upaya menyelewengkan Pancasila yang mengandung nilai-nilai luhur dan menjadi konsensus bersama karena dijadikan alat politik untuk menggusur kekuatan oposisi di masa Orde Lama dan Orde Baru. Jangan sampai tragedi sejarah terulang kembali.

Kredo Politik

            Sikap Mas Tammim yang hemat bicara dan antisuap diceritakan juniornya, Deliarnur, Ketum PB PII tahun 2006 (Republika, 7/5/2020). Ada kawannya yang sedang mengerjakan disertasi soal proses penyusunan UU Nomor 7  tahun 2004 tentang privatisasi sumber daya air. Disertasi itu mendapat nilai A dari para penguji dengan mengkaji bahan pustaka, risalah rapat juga wawancara para pelaku dari World Bank dan perusahaan air global yang terlibat untuk meloloskan draf UU, agar disahkan DPR RI. Pelobi Bank Dunia dan perusahaan air dunia tidak hanya mendekati politisi Senayan, tapi juga penentu kebijakan di Istana Negara. Upaya lobi tingkat tinggi itu berhasil, tapi ada politisi yang tidak terbeli, antara lain Mutammimul Ula yang bersuara lantang dan menolak keras privatisasi sumber daya air karena hanya menguntungkan perusahaan air dunia dan merugikan masyarakat Indonesia. Bagi Mas Tammim formula barking and bargaining tidak berlaku.

            Kredo politik Mas Tammim dapat dirumuskan secara singkat dalam buku kecil “Risalah Perjuangan Dakwah Parlemen” (2004). “Di tengah kebebasan tak berbatas seperti saat ini, keberadaan wakil rakyat yang memiliki keluasaan ilmu, nurani, etika, dan moral berpolitik sangatlah diharapkan menjadi pencerah. Demokrasi yang selama ini kita ketahui adalah sebuah alat untuk menjalankan pemerintahan yang adil melalui perantara wakilnya. Namun saat ini, ada paradigma yang berkembang dalam masyarakat bahwa tindakan mengatasnamakan rakyat dapat menjadi senjata ampuh untuk menutupi sebuah pemaksaan kehendak segelintir oknum atau anggota,” simpulnya sebagai otokritik. Tindakan serupa bisa dilakukan eksekutif yang dipilih langsung rakyat.

            Jejak Mas Tammim mungkin tak banyak ditemukan di media massa, namun sebagian kecil pemikiran dan kiprahnya masih terekam dalam sebuah blog yang nyaris terlupakan:

http://m-ula.blogspot.com/2009/. Banner pada halaman depan blog itu memuat pandangannya selaku Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS (2004-2009) yang kritis terhadap RUU Rahasia Negara: “Spirit, lingkup, dan substansi RUU Rahasia Negara saat ini mengancam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Karakter dasar dari RUU itu juga berpotensi memberangus demokratisasi, pelanggaran HAM, dan menumpulkan pemberdayaan masyarakat” (Kompas, Selasa, 27 Mei 2008). Amat jarang Kompas mengutip pandangan politisi dalam isu kebijakan nasional yang sensitif, sehingga proposisi Mas Tammim memberi makna tersendiri dan tingkat kepercayaan terhadap kredibilitasnya. Sampai sekarang RUU Rahasia Negara juga belum dituntaskan, beruntung masyarakat Indonesia telah memiliki payung hukum UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008.

            Pada tahun 2006, belum satu dekade pasca reformasi, Mas Tammim melakukan renungan  mendalam tentang “Serangan Balik Koruptor” (Republika, 22/11). Prolognya sangat tajam: “Dari sekian banyak negara di Asia yang terkena krisis pada tahun 1997/1998 Indonesia adalah satu-satunya negara yang belum mengalami recovery. Bahkan kondisinya tetap tidak bisa diatasi. Salah satu penyebabnya adalah korupsi yang sudah mencakup semua bidang. Kalau kita lihat bagaimana Korea Selatan dan Malaysia, mereka sanggup keluar dari krisis karena korupsi dapat dibasmi oleh pemerintahnya. Korupsi telah membuat bangsa kita mengalami keterpurukan di segala bidang.” Negara yang dipimpin politisi lemah dan dikelola birokrasi koruptif ternyata memiliki pertahanan rapuh, tak perlu menunggu serangan balik para koruptor yang sempat terdesak dengan kehadiran lembaga independen Komisi Pemberantasan Korupsi. “Dalam kondisi yang paling buruk korupsi bahkan bisa membuat pemerintah menjadi penjarah serta pemicu pecahnya perang saudara dan kekacauan sosial. Hal ini telah dialami bangsa kita dan kalau kita tidak serius menyikapi persoalan korupsi maka bangsa kita yang besar ini akan terancam bubar,” tandas Mas Tammim.

            Empat belas tahun kemudian di hari-hari terakhir perjuangannya, Mas Tammim masih menyaksikan Republik yang sakit. Para mahasiswa dan aktivis antikorupsi dari berbagai daerah turun ke jalan pada September-Oktober 2019 untuk memprotes revisi UU Antikorupsi dan UU KPK yang dikebiri. Gerakan massif bertagar #ReformasiDikorupsi telah dipukul mundur oleh berbagai kekuatan status quo lama maupun baru yang bersekongkol terang-terangan, tapi perlawanan dalam diam terus bergejolak. Perlawanan kembali mencuat saat wabah Covid-19 merebak, dengan dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dibahas kilat dan dipaksakan rampung oleh parlemen. Oposisi tidak sendirian, bersama rakyat terus melawan.

“Hello darkness, my old friend/
I’ve come to talk with you again/
Because a vision softly creeping/
Left its seeds while I was sleeping/
And the vision that was planted in my brain/
Still remains/
Within the sound of silence ……

And in the naked light I saw/
Ten thousand people, maybe more/
People talking without speaking/
People hearing without listening/
People writing songs that voices never share/
And no one dared/
Disturb the sound of silence….”

(Sound of Silence, Simon & Garfunkel)